OFFICIAL BLOG GUBERNUR SARUNDAJANG & WOC'09

SELAMAT DATANG !
Blog ini untuk informasi dan sosialisasi kegiatan Gubernur Sinyo Sarundajang dalam rangka mempromosikan World Ocean Conference (WOC) Mei 2009, di Manado, Sulawesi Utara Indonesia

GUBERNUR SAAT BERBICARA DI GLOBAL OCEAN CONFERENCE HANOI

Jumat, 01 Agustus 2008

WOC 2009, Menyelamatkan Dunia dari Daerah



KRISIS pangan yang terjadi bersamaan dengan krisis energi sepanjang tahun 2007 ini merupakan dampak yang paling nyata dari perubahan iklim (climate change). Kekeringan, hujan, banjir, badai, dan tanah longsor terjadi di berbagai belahan dunia secara tidak beraturan bersamaan dengan krisis energi, telah mengakibatkan gagal panen dan membuat miliaran umat manusia terancam kelaparan. Di Markas Besar New York pada 29 April 2007, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengumumkan dan memimpin sendiri "Task Force on Global Food Crisis" untuk menggerakan semua potensi dan kekuatan dunia guna mengatasi krisis pangan. Namun sejauh ini bahaya kelaparan terus mendera ratusan juta penduduk dunia, dan membahayakan miliran penduduk di negara-negara miskin dan berkembang berpendapatan kurang dari 2 dolar AS per hari.

Para ilmuwan menyatakan, tebalnya lapisan polusi karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya di atmosfer telah mengakibatkan kenaikan temperatur global 1 derajat Fahrenheit sejak pergantian abad lalu, dan besar kemungkinan akan terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyatakan 2006 sebagai tahun terhangat kedua di AS, dengan rata-rata temperatur 55 derajat Fahrenheit. Tingkat itu cuma berbeda 0,1 derajat dari tahun terpanas yang terjadi pada 1998. Sejak 1998 sampai 2006 tercatat berada dalam peringkat 25 besar tahun terpanas di AS, yang menurut NOAA merupakan peristiwa yang tak terduga. Kenaikan temperatur global juga telah mengakibatkan bahaya kekeringan yang tidak lazim dan kebakaran hutan yang sangat memprihatinkan. Pada 2006 terjadi “pemecahan rekor” kebakaran hutan, dengan jumlah kejadian hampir 100.000 kali dan telah melahap 5 juta hektar hutan di seluruh dunia. Angka itu 125 persen lebih besar dari rata-rata sepuluh tahunan, dan dalam beberapa tahun terakhir biaya pemadaman kebakaran selalu menembus 1 miliar dolar AS per tahun.

Di bagian dunia yang lain terjadi kekeringan dan kebakaran hutan, di tempat lain temperatur yang lebih panas meningkatkan energi sistem iklim yang menyebabkan hujan yang sangat deras dalam waktu-waktu tertentu. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah kelompok peneliti iklim ternama dunia, menyatakan bahwa hujan deras makin sering terjadi dalam 50 tahun terakhir. Sementara di tempat lain terjadi gelombang panas ekstrem yang diperkirakan menewaskan 35.000 orang di Eropa pada 2003. Di Perancis saja hampir 14.000 orang mati akibat meroketnya temperatur yang mencapai 104 derajat Fahrenheit (sekitar 40 derajat Celcius) dan terus bertengger di angka tersebut selama dua pekan. Di Amerika Serikat 80 juta penduduk telah menderita akibat kualitas udara lokal yang memburuk, dan pada Juli 2006 gelombang panas ekstrem telah menyebabkan kematian tak kurang dari 225 orang di Amerika Utara. Sejumlah penelitian menemukan bahwa meningginya level karbon dioksida menyebabkan peningkatan pertumbuhan rerumputan yang memicu alergi dan memperburuk asthma. Nyamuk-nyamuk pembawa penyakit semakin meluas seiring pergeseran iklim yang membuat mereka bisa hidup di kawasan-kawasan yang sebelumnya tidak bersahabat. Nyamuk-nyamuk pembawa virus dengue yang sebelumnya terbatas di ketinggian 3.300 kaki (sekitar 1.000 meter) kini ditemui di ketinggian 7.200 kaki (sekitar 2.000 meter) di Pegunungan Andes, Kolombia. Malaria terdeteksi di daerah-daerah yang lebih tinggi di Indonesia. Sementara jumlah badai kategori 4 dan 5 meningkat tajam dalam 35 tahun terakhir, seiring dengan naiknya temperatur permukaan laut. Tahun 2005 merupakan musim angin puyuh Atlantik yang paling aktif dalam sejarah, dengan 27 badai, 15 di antaranya berubah menjadi angin puyuh. Tujuh angin puyuh itu bertambah intensitasnya hingga menjadi badai besar, 5 diantaranya menjadi angin puyuh kategori 4, dan 4 lainnya mencetak rekor menjadi kategori 5.

Sesuatu yang mengerikan sedang terjadi. Kenaikan temperatur global telah mempercepat pelelehan glacier dan puncak-puncak es, serta menyebabkan pelelehan es dini di sungai dan danau. Para ahli memperkirakan semua glacier di Glacier National Park akan lenyap pada 2070. Setelah bertahan selama beribu-beribu tahun, bagian utara paparan es Larsen B di Antartika, yang lebih besar dari negara bagian Rhode Island, runtuh antara Januari dan Maret 2002, dan pecah dengan laju yang mencengangkan. Sejak 1995 luas paparan es itu telah berkurang 40 persen. Menurut NASA, puncak es kutub saat ini meleleh dengan laju memprihatinkan, 9 persen per dekade. Ketebalan es Arktik (Kutub Utara) berkurang 40 persen sejak 1960-an. National Snow and Ice Data Center (USA) melaporkan, cakupan luas es Arktik mencatat rekor terendah pada September 2007. Luasnya hampir 3/4 juta kilometer persegi dari rekor sebelumnya yang terjadi September 2005. Dalam 3 dekade terakhir, lebih dari 1,6 juta kilometer persegi laut es abadi, hampir sama besar dengan gabungan Norwegia, Denmark, dan Swedia, lenyap. Berbagai model iklim mengindikasikan bahwa laut es akan semakin mengecil seiring dengan kian panasnya bumi. Para ilmuwan U.S. Center for Atmospheric Research meramalkan, bila laju global warming saat ini berlanjut, tidak akan ada lagi es di Arktik pada musim panas 2040.

Konsekuensi yang akan terjadi mencakup lenyapnya wetland pantai dan pulau-pulau penghalang, dan meningkatnya potensi banjir di kota pesisir. Daerah-daerah dataran rendah seperti kawasan pantai sepanjang Teluk Meksiko, Teluk Chesapeake, dan negara-negara kepulauan di Asia Pasifik seperti Indonesia, Malaysia, The Philippines, Papua New Guinea, New Zealand, Australia, Salomon Island, Singapore, Jepang, Korea, dan Taiwan paling rentan kehilangan pulau-pulau dan daratannya. Ancaman ini bukan kabar burung. Permukaan laut secara global telah naik 4-8 inci (10-27 centimeter) abad lalu, dan laju kenaikannya saat ini tampaknya kian pesat. IPCC memperkirakan permukaan laut bisa naik 25 - 57 centimeter pada 2100, tapi beberapa tahun belakangan kenaikan itu lebih tinggi dari batas atas yang diprediksikan oleh IPCC. Di era 1990-an, massa es Greenland stabil, tapi lapisan esnya semakin berkurang. Pelelehan itu diperkirakan mengkontribusikan kenaikan permukaan laut setinggi sekitar seperseratus inci per tahun. Perubahan yang ekstrem ini akan berakibat punahnya sejumlah spesies yang tak bisa beradaptasi. Sebuah perkiraan komprehensif tentang resiko kepunahan spesies akibat global warming menunjukkan, lebih dari 1 juta spesies terancam punah pada 2050 bila polusi global warming tak bisa ditangkal. Sejumlah ekosistem, seperti padang bunga (meadow) Alpine, dan padang rumput tropis, terumbu karang, dan hutan bakau, bakal punah karena iklim lokal yang lebih panas dan naiknya permukaan air laut di pesisir pantai.

LAUT MASA DEPAN DUNIA

Berbagai upaya telah dilakukan umat manusia untuk mencegah dan menanggulangi masalah perubahan iklim akibat pemanasan global. Tetapi semua upaya tersebut terfokus atau dominan berorientasi ke daratan. Pada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change– UNFCCC) di Bali, Desember 2007, dari sekitar 800 topik yang dibahas, hanya satu topik yang menyangkut laut. Padahal laut merupakan 2/3 bagian dari permukaan bumi yang memiliki peranan penting dalam perubahan iklim dunia. Sejumlah ilmuwan menyebutkan, laut merupakan carbon-sink (gudang karbon) yang terbukti lebih ampuh menyerap emisi gas. Seluruh laut di muka bumi menyerap karbon sebesar 90 miliar ton per tahun, dan melepas kembali 92 miliar ton karbon per tahun ke atmosfer. Daya simpan laut terhadap karbon 50 kali lebih tinggi dibandingkan dengan atmosfer. Daya serap laut terhadap karbon dioksida mengalahkan kedahsyatan hutan Amazon di Brazil sebagai paru-paru bumi. Laut Indonesia di tepian Pasifik, The Philippines, Malaysia, Papua New Guinea, Timor Leste, dan Salamon Island merupakan ”mega carbon sink” di dunia, dan merupakan ”Amazon of the Seas” di laut dunia. Kawasan ini mencakup 75.000 kilometer persegi, memiliki lebih dari 500 spesies karang, dan dihuni lebih dari 3.000 spesies ikan. Kawasan ini merupakan sumber pangan bagi 120 juta penduduk, tempat pemijahan ikan dan sumber ekonomi regional dengan perkiraan perputaran uang 2,3 miliar dolar AS per tahun.

Selain menjadi ”mega carbon sink” dunia, laut merupakan masa depan umat manusia untuk ketahanan pangan, industri, dan jasa. Di sisi lain, sejumlah permasalahan laut dan kelautan dunia sampai saat ini belum mendapatkan titik temu, bahkan sering menjadi sumber perselisihan dan perang antarnegara.

World Ocean Conference (WOC) tanggal 11-15 Mei 2009 di Manado, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia, didedikasikan untuk panggilan dan niatan itu. Konferensi ini akan dihadiri oleh kepala-kepala negara/pemerintahan, para menteri, dan para pejabat senior dari negara-negara yang memiliki laut di dunia. Konferensi ini juga diikuti oleh para ilmuwan, pegiat lingkungan dan masalah-masalah kelautan, pengusaha, industriawan, kelompok hobi, pers, para pengamat dan pemerhati masa depan keselamatan dunia. Lembaga-lembaga dunia di bawah PPB seperti UNDP, UN-Habitat, UNEP, Global Forum on Oceans, Coasts and Islands, UNICPOLOS, UNESCO, dan lembaga-lembaga internasional seperti WWF, WCS, TNC, CI, NOAA, dan IPCC mendukung dan terlibat secara aktif menyukseskan konferensi ini.

Adalah biasa dan lumrah konferensi tingkat dunia digagas dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tingkat dunia atau negara-negara tertentu. Tetapi untuk pertama kalinya gagasan penyelamatan dunia dengan melihat laut sebagai titik pijak dan orientasi masa depan datang dari daerah, Sulawesi Utara. Gagasan ini lahir dari Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang, dan mendapat sambutan, penguatan dan dukungan dari pemerintah Indonesia, lembaga-lembaga dunia dan PBB. WOC bertujuan (1) mengoptimalkan, mengembangkan dan melestarikan sumberdaya laut sebagai ”mega carbon sink” dunia, (2) mengidentifikasi tindakan-tindakan dalam menghadapi perubahan iklim global, dan (3) meningkatkan kerjasama internasional bagi pemanfaatan sumberdaya laut secara lestari dan berkesinambungan untuk peningkatan kesejahteraan umat manusia. Tujuan-tujuan tersebut dan semua komitmen dunia terhadap laut akan dituangkan dalam MANADO OCEAN DECLARATION, yang akan dimaklumatkan pada akhir konferensi ini di Manado, Provinsi Sulawesi Utara.

WOC 2009 bertema ”Oceans and Climate Change”, dan sub tema ”Climate Change Impacts to Oceans and the Role of Oceans to Climate Change”. Iven utama WOC 2009 adalah pertemuan menteri-menteri dan para pejabat tinggi dari organisasi multilateral untuk mendiskusikan dan mengidentifikasi peranan laut terhadap proses perubahan iklim dan pengaruh perubahan iklim terhadap laut. Bersamaan dengan iven utama ini akan dilaksanakan Global Oceans Policy Day, yakni pertemuan multi-stakeholders tingkat internasional yang mendiskusikan hasil Konferensi Global Ocean di Hanoi, Vietnam, April 2008, bekerjasama dengan Global Forum on Oceans, Coasts, and Islands. Di samping itu, dilaksanakan simposium ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan kebijakan kelautan, serta pameran Iptek dan industri kelautan dengan peserta tingkat dunia. Pada saat yang sama, pameran kelautan nasional dan budaya nusantara akan menyemarakkan kegiatan WOC 2009. Diperkirakan, konferensi ini dan semua kegiatan pendukungnya akan dihadiri oleh sedikitnya 10.000 orang dari dalam dan luar negeri.

Puncak kegiatan WOC diisi dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Coral Triangle Initiative (CTI) on Coral Reef, Fisheries and Food Security. CTI Summit merupakan pertemuan kepala negara/pemerintahan Indonesia, Malaysia, The Philippines, Papua New Guinea, Timor Leste, dan Salomon Island, dan negara-negara partner seperti Amerika Serikat dan Australia, GEF dan konsorsium NGO internasional untuk kelautan dunia. Pada akhir CTI Summit akan diluncurkan Program Implementasi CTI yang bertujuan mempromosikan, mendayagunakan dan melestarikan “mega carbon sink” bagi penyelamatan dunia.

Konferensi ini akan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan akan dihadiri oleh kepala negara/pemerintahan negara-negara yang memiliki laut, khususnya yang tergabung dalam kawasan CTI. Sejumlah ilmuwan penting dan tokoh-tokoh dunia dijadwalkan hadir, di antaranya Achim Steiner, Billiana Cicin-Sain, dan Emil Salim. Sedang diupayakan menghadirkan Al Gore untuk menjadi salah satu pembicara kunci pada konferensi ini.