OFFICIAL BLOG GUBERNUR SARUNDAJANG & WOC'09

SELAMAT DATANG !
Blog ini untuk informasi dan sosialisasi kegiatan Gubernur Sinyo Sarundajang dalam rangka mempromosikan World Ocean Conference (WOC) Mei 2009, di Manado, Sulawesi Utara Indonesia

GUBERNUR SAAT BERBICARA DI GLOBAL OCEAN CONFERENCE HANOI

Jumat, 01 Agustus 2008

WOC 2009, Menyelamatkan Dunia dari Daerah



KRISIS pangan yang terjadi bersamaan dengan krisis energi sepanjang tahun 2007 ini merupakan dampak yang paling nyata dari perubahan iklim (climate change). Kekeringan, hujan, banjir, badai, dan tanah longsor terjadi di berbagai belahan dunia secara tidak beraturan bersamaan dengan krisis energi, telah mengakibatkan gagal panen dan membuat miliaran umat manusia terancam kelaparan. Di Markas Besar New York pada 29 April 2007, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengumumkan dan memimpin sendiri "Task Force on Global Food Crisis" untuk menggerakan semua potensi dan kekuatan dunia guna mengatasi krisis pangan. Namun sejauh ini bahaya kelaparan terus mendera ratusan juta penduduk dunia, dan membahayakan miliran penduduk di negara-negara miskin dan berkembang berpendapatan kurang dari 2 dolar AS per hari.

Para ilmuwan menyatakan, tebalnya lapisan polusi karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya di atmosfer telah mengakibatkan kenaikan temperatur global 1 derajat Fahrenheit sejak pergantian abad lalu, dan besar kemungkinan akan terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyatakan 2006 sebagai tahun terhangat kedua di AS, dengan rata-rata temperatur 55 derajat Fahrenheit. Tingkat itu cuma berbeda 0,1 derajat dari tahun terpanas yang terjadi pada 1998. Sejak 1998 sampai 2006 tercatat berada dalam peringkat 25 besar tahun terpanas di AS, yang menurut NOAA merupakan peristiwa yang tak terduga. Kenaikan temperatur global juga telah mengakibatkan bahaya kekeringan yang tidak lazim dan kebakaran hutan yang sangat memprihatinkan. Pada 2006 terjadi “pemecahan rekor” kebakaran hutan, dengan jumlah kejadian hampir 100.000 kali dan telah melahap 5 juta hektar hutan di seluruh dunia. Angka itu 125 persen lebih besar dari rata-rata sepuluh tahunan, dan dalam beberapa tahun terakhir biaya pemadaman kebakaran selalu menembus 1 miliar dolar AS per tahun.

Di bagian dunia yang lain terjadi kekeringan dan kebakaran hutan, di tempat lain temperatur yang lebih panas meningkatkan energi sistem iklim yang menyebabkan hujan yang sangat deras dalam waktu-waktu tertentu. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah kelompok peneliti iklim ternama dunia, menyatakan bahwa hujan deras makin sering terjadi dalam 50 tahun terakhir. Sementara di tempat lain terjadi gelombang panas ekstrem yang diperkirakan menewaskan 35.000 orang di Eropa pada 2003. Di Perancis saja hampir 14.000 orang mati akibat meroketnya temperatur yang mencapai 104 derajat Fahrenheit (sekitar 40 derajat Celcius) dan terus bertengger di angka tersebut selama dua pekan. Di Amerika Serikat 80 juta penduduk telah menderita akibat kualitas udara lokal yang memburuk, dan pada Juli 2006 gelombang panas ekstrem telah menyebabkan kematian tak kurang dari 225 orang di Amerika Utara. Sejumlah penelitian menemukan bahwa meningginya level karbon dioksida menyebabkan peningkatan pertumbuhan rerumputan yang memicu alergi dan memperburuk asthma. Nyamuk-nyamuk pembawa penyakit semakin meluas seiring pergeseran iklim yang membuat mereka bisa hidup di kawasan-kawasan yang sebelumnya tidak bersahabat. Nyamuk-nyamuk pembawa virus dengue yang sebelumnya terbatas di ketinggian 3.300 kaki (sekitar 1.000 meter) kini ditemui di ketinggian 7.200 kaki (sekitar 2.000 meter) di Pegunungan Andes, Kolombia. Malaria terdeteksi di daerah-daerah yang lebih tinggi di Indonesia. Sementara jumlah badai kategori 4 dan 5 meningkat tajam dalam 35 tahun terakhir, seiring dengan naiknya temperatur permukaan laut. Tahun 2005 merupakan musim angin puyuh Atlantik yang paling aktif dalam sejarah, dengan 27 badai, 15 di antaranya berubah menjadi angin puyuh. Tujuh angin puyuh itu bertambah intensitasnya hingga menjadi badai besar, 5 diantaranya menjadi angin puyuh kategori 4, dan 4 lainnya mencetak rekor menjadi kategori 5.

Sesuatu yang mengerikan sedang terjadi. Kenaikan temperatur global telah mempercepat pelelehan glacier dan puncak-puncak es, serta menyebabkan pelelehan es dini di sungai dan danau. Para ahli memperkirakan semua glacier di Glacier National Park akan lenyap pada 2070. Setelah bertahan selama beribu-beribu tahun, bagian utara paparan es Larsen B di Antartika, yang lebih besar dari negara bagian Rhode Island, runtuh antara Januari dan Maret 2002, dan pecah dengan laju yang mencengangkan. Sejak 1995 luas paparan es itu telah berkurang 40 persen. Menurut NASA, puncak es kutub saat ini meleleh dengan laju memprihatinkan, 9 persen per dekade. Ketebalan es Arktik (Kutub Utara) berkurang 40 persen sejak 1960-an. National Snow and Ice Data Center (USA) melaporkan, cakupan luas es Arktik mencatat rekor terendah pada September 2007. Luasnya hampir 3/4 juta kilometer persegi dari rekor sebelumnya yang terjadi September 2005. Dalam 3 dekade terakhir, lebih dari 1,6 juta kilometer persegi laut es abadi, hampir sama besar dengan gabungan Norwegia, Denmark, dan Swedia, lenyap. Berbagai model iklim mengindikasikan bahwa laut es akan semakin mengecil seiring dengan kian panasnya bumi. Para ilmuwan U.S. Center for Atmospheric Research meramalkan, bila laju global warming saat ini berlanjut, tidak akan ada lagi es di Arktik pada musim panas 2040.

Konsekuensi yang akan terjadi mencakup lenyapnya wetland pantai dan pulau-pulau penghalang, dan meningkatnya potensi banjir di kota pesisir. Daerah-daerah dataran rendah seperti kawasan pantai sepanjang Teluk Meksiko, Teluk Chesapeake, dan negara-negara kepulauan di Asia Pasifik seperti Indonesia, Malaysia, The Philippines, Papua New Guinea, New Zealand, Australia, Salomon Island, Singapore, Jepang, Korea, dan Taiwan paling rentan kehilangan pulau-pulau dan daratannya. Ancaman ini bukan kabar burung. Permukaan laut secara global telah naik 4-8 inci (10-27 centimeter) abad lalu, dan laju kenaikannya saat ini tampaknya kian pesat. IPCC memperkirakan permukaan laut bisa naik 25 - 57 centimeter pada 2100, tapi beberapa tahun belakangan kenaikan itu lebih tinggi dari batas atas yang diprediksikan oleh IPCC. Di era 1990-an, massa es Greenland stabil, tapi lapisan esnya semakin berkurang. Pelelehan itu diperkirakan mengkontribusikan kenaikan permukaan laut setinggi sekitar seperseratus inci per tahun. Perubahan yang ekstrem ini akan berakibat punahnya sejumlah spesies yang tak bisa beradaptasi. Sebuah perkiraan komprehensif tentang resiko kepunahan spesies akibat global warming menunjukkan, lebih dari 1 juta spesies terancam punah pada 2050 bila polusi global warming tak bisa ditangkal. Sejumlah ekosistem, seperti padang bunga (meadow) Alpine, dan padang rumput tropis, terumbu karang, dan hutan bakau, bakal punah karena iklim lokal yang lebih panas dan naiknya permukaan air laut di pesisir pantai.

LAUT MASA DEPAN DUNIA

Berbagai upaya telah dilakukan umat manusia untuk mencegah dan menanggulangi masalah perubahan iklim akibat pemanasan global. Tetapi semua upaya tersebut terfokus atau dominan berorientasi ke daratan. Pada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change– UNFCCC) di Bali, Desember 2007, dari sekitar 800 topik yang dibahas, hanya satu topik yang menyangkut laut. Padahal laut merupakan 2/3 bagian dari permukaan bumi yang memiliki peranan penting dalam perubahan iklim dunia. Sejumlah ilmuwan menyebutkan, laut merupakan carbon-sink (gudang karbon) yang terbukti lebih ampuh menyerap emisi gas. Seluruh laut di muka bumi menyerap karbon sebesar 90 miliar ton per tahun, dan melepas kembali 92 miliar ton karbon per tahun ke atmosfer. Daya simpan laut terhadap karbon 50 kali lebih tinggi dibandingkan dengan atmosfer. Daya serap laut terhadap karbon dioksida mengalahkan kedahsyatan hutan Amazon di Brazil sebagai paru-paru bumi. Laut Indonesia di tepian Pasifik, The Philippines, Malaysia, Papua New Guinea, Timor Leste, dan Salamon Island merupakan ”mega carbon sink” di dunia, dan merupakan ”Amazon of the Seas” di laut dunia. Kawasan ini mencakup 75.000 kilometer persegi, memiliki lebih dari 500 spesies karang, dan dihuni lebih dari 3.000 spesies ikan. Kawasan ini merupakan sumber pangan bagi 120 juta penduduk, tempat pemijahan ikan dan sumber ekonomi regional dengan perkiraan perputaran uang 2,3 miliar dolar AS per tahun.

Selain menjadi ”mega carbon sink” dunia, laut merupakan masa depan umat manusia untuk ketahanan pangan, industri, dan jasa. Di sisi lain, sejumlah permasalahan laut dan kelautan dunia sampai saat ini belum mendapatkan titik temu, bahkan sering menjadi sumber perselisihan dan perang antarnegara.

World Ocean Conference (WOC) tanggal 11-15 Mei 2009 di Manado, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia, didedikasikan untuk panggilan dan niatan itu. Konferensi ini akan dihadiri oleh kepala-kepala negara/pemerintahan, para menteri, dan para pejabat senior dari negara-negara yang memiliki laut di dunia. Konferensi ini juga diikuti oleh para ilmuwan, pegiat lingkungan dan masalah-masalah kelautan, pengusaha, industriawan, kelompok hobi, pers, para pengamat dan pemerhati masa depan keselamatan dunia. Lembaga-lembaga dunia di bawah PPB seperti UNDP, UN-Habitat, UNEP, Global Forum on Oceans, Coasts and Islands, UNICPOLOS, UNESCO, dan lembaga-lembaga internasional seperti WWF, WCS, TNC, CI, NOAA, dan IPCC mendukung dan terlibat secara aktif menyukseskan konferensi ini.

Adalah biasa dan lumrah konferensi tingkat dunia digagas dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tingkat dunia atau negara-negara tertentu. Tetapi untuk pertama kalinya gagasan penyelamatan dunia dengan melihat laut sebagai titik pijak dan orientasi masa depan datang dari daerah, Sulawesi Utara. Gagasan ini lahir dari Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang, dan mendapat sambutan, penguatan dan dukungan dari pemerintah Indonesia, lembaga-lembaga dunia dan PBB. WOC bertujuan (1) mengoptimalkan, mengembangkan dan melestarikan sumberdaya laut sebagai ”mega carbon sink” dunia, (2) mengidentifikasi tindakan-tindakan dalam menghadapi perubahan iklim global, dan (3) meningkatkan kerjasama internasional bagi pemanfaatan sumberdaya laut secara lestari dan berkesinambungan untuk peningkatan kesejahteraan umat manusia. Tujuan-tujuan tersebut dan semua komitmen dunia terhadap laut akan dituangkan dalam MANADO OCEAN DECLARATION, yang akan dimaklumatkan pada akhir konferensi ini di Manado, Provinsi Sulawesi Utara.

WOC 2009 bertema ”Oceans and Climate Change”, dan sub tema ”Climate Change Impacts to Oceans and the Role of Oceans to Climate Change”. Iven utama WOC 2009 adalah pertemuan menteri-menteri dan para pejabat tinggi dari organisasi multilateral untuk mendiskusikan dan mengidentifikasi peranan laut terhadap proses perubahan iklim dan pengaruh perubahan iklim terhadap laut. Bersamaan dengan iven utama ini akan dilaksanakan Global Oceans Policy Day, yakni pertemuan multi-stakeholders tingkat internasional yang mendiskusikan hasil Konferensi Global Ocean di Hanoi, Vietnam, April 2008, bekerjasama dengan Global Forum on Oceans, Coasts, and Islands. Di samping itu, dilaksanakan simposium ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan kebijakan kelautan, serta pameran Iptek dan industri kelautan dengan peserta tingkat dunia. Pada saat yang sama, pameran kelautan nasional dan budaya nusantara akan menyemarakkan kegiatan WOC 2009. Diperkirakan, konferensi ini dan semua kegiatan pendukungnya akan dihadiri oleh sedikitnya 10.000 orang dari dalam dan luar negeri.

Puncak kegiatan WOC diisi dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Coral Triangle Initiative (CTI) on Coral Reef, Fisheries and Food Security. CTI Summit merupakan pertemuan kepala negara/pemerintahan Indonesia, Malaysia, The Philippines, Papua New Guinea, Timor Leste, dan Salomon Island, dan negara-negara partner seperti Amerika Serikat dan Australia, GEF dan konsorsium NGO internasional untuk kelautan dunia. Pada akhir CTI Summit akan diluncurkan Program Implementasi CTI yang bertujuan mempromosikan, mendayagunakan dan melestarikan “mega carbon sink” bagi penyelamatan dunia.

Konferensi ini akan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan akan dihadiri oleh kepala negara/pemerintahan negara-negara yang memiliki laut, khususnya yang tergabung dalam kawasan CTI. Sejumlah ilmuwan penting dan tokoh-tokoh dunia dijadwalkan hadir, di antaranya Achim Steiner, Billiana Cicin-Sain, dan Emil Salim. Sedang diupayakan menghadirkan Al Gore untuk menjadi salah satu pembicara kunci pada konferensi ini.


Rabu, 30 Juli 2008

WOC 2009 Mampu Mengurangi Emisi Carbon Dan Menjawab Perubahan Iklim


Oleh : Aldy Madjid

29-Jul-2008, 17:16:32 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia – Direktur Jenderal (Dirjen) Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri (Deplu) Edy Pratomo mengatakan, Indonesia akan memprakarsai World Ocean Conference (WOC) 2009 yang akan digelar pada 11-15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara, dan akan mendeklarasikan Manado Ocean Declaration (MOD).

“Pada tanggal 11-15 Mei 2009 Indonesia akan memprakarsai WOC 2009 yang akan digelar di Manado, Sulawesi Utara,” kata Edy Pratomo disela-sela acara jumpa pers di Hotel Borobudur Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Rabu (297).

Edy mengatakan, acara ini akan dihadiri sekitar 1.000 peserta dari 111 negara yang terdiri dari negara maju dan negara berkembang seperti negara yang memiliki laut dengan jumlah 36 negara maju, 45 negara berkembang dan 30 negara belum berkembang.

Selain itu kata Edy, acara ini akan dapat mengangkat peran dan fungsi strategis terhadap perubahan iklim termasuk keberadaan laut.

“Dala acara nanti, kami berharap dapat mampu mengangkat keberadaan laut yang memiliki peran dan fungsi strategis terhadap perubahan iklim karena dapat mengurangi emisi carbon,” ujarnya.

Edy juga mengatakan, masyarakat dunia perlu komitmen untuk memobilisasi upaya hingga ke tingkat pengambil kebijakan politik yang paling tinggi, guna menetapkan langka-langka penyelamatan laut dalam kaitan perubahan iklim global.

“Untuk menggalang komitmen masyarakat dunia dalam memelihara fungsi laut sebagai upaya adaptasi dan mitigasi dalam perubahan iklim, Indonesia harus melaksanakan WOC,” paparnya.

Sementara itu, Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Sekmenkokesra) Indroyono Susilo mengatakan, even ini merupakan pertama kalinya Indonesia memiliki inisiatif untuk mengadakan konferensi internasional.

"Tema konferensi internasional ini 'Ocean and Climate Change' yang ingin mengangkat keberadaan laut dalam peran dan fungi strategisnya terhadap perubahan iklim global," ujar Indroyono.

Selain itu dikatakan Staf Ahli Menteri Bidang Kebijakan Publik Departemen Kelautan dan Perikanan Gellwyn Jusuf, tujuan diadakan seminar ini untuk menggalang komitmen masyarakat dunia dalam memelihara fungsi laut sebagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Saat WOC 2009 berlangsung, dituturkan Gelwyn, akan dilakukan beberapa kegiatan, seperti Coral Triangle Initiative (CTI).

Pertemuan ini dihadiri Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.

"Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar sudah seharusnya memprakarsai konferensi tentang laut. Negara-negara lain itu menunggu kita bereaksi dan pasti mereka mendukung," tuturnya.

Konferensi ini akan membahas peran laut dalam perubahan iklim global, keanekaragaman hayati laut dunia, industri dan jasa maritim, mitigasi bencana alam di laut, dan pengelolaan laut dan pesisir terpadu berdasar ekosistem.

"Kami mengajak berbagai pihak untuk bekerja sama, selain pelaksana Deplu RI, Departemen Kelautan dan Perikanan, LSM juga kami libatkan," tutur Gellwyn.





Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik):
redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com/

Senin, 21 Juli 2008

Amien Support SHS Tolak MSM


MANADO—Gubernur Sulut SH Sarundajang yang tetap komitmen dan konsisten dengan perjuangannya menolak izin pengoperasian sebuah perusahaan tambang asing di Minut, mendapat dukungan dari Prof DR HM Amien Rais saat berkunjung ke Manado.

Ini terungkap saat bedah buku ‘Selamatkan Indonesia’ karya Amien Rais, Sabtu (19/7) di Ritzy Hotel Manado.
Terkait dengan koorporasi asing yang menguasai aset-aset nasional, pun tak luput dari sindiran Amien. Banyak sumber daya alam (SDA) yang dikuasai oleh negara asing merupakan pengulangan sejarah tiga abad lalu, saat Nusantara mulai dikuasai oleh VOC. “Saatnya bangkit Selamatkan Indonesia,” ujar Amien.
Kesamaan visi kebangsaan pun terlihat dari keduanya, yang tidak ingin lagi dijajah oleh kekuatan liberalisme baru. Kalau dulu, bangsa ini dijajah dan dirampas rempah-rempahnya, kini sadar atau tidak, bangsa ini masih dijajah dengan kekuatan ekonomi dan teknologi. “Kekayaan daerah ini harus dijaga dan dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Bukan untuk dibawah pihak asing,” ujar SHS.
Karenanya 100 tahun kebangkitan nasional dan 10 tahun reformasi, Prof DR HM Amien Rais sebagai tokoh reformasi, kembali menuangkan kritik-kritik ‘pedas’ dalam buku Selamatkan Indonesia! Sebuah agenda mendesak yang harus dilakukan oleh seluruh elemen pendukung bangsa ini.


Buku yang diterbitkan oleh PPSK Press di bedah secara detail oleh tokoh-tokoh intelektual Sulut. Yang hadir, Gubernur Sulut Drs SH Sarundajang, Dr Bert A Supit, dan Prof DR Lucky Sondakh. Turut hadir pula tokoh-tokoh PAN dan Muhammadiyah se-Sulut.
Dalam bedah buku yang memakan waktu sekitar 3 jam ini, mencatat pengakuan Amien bahwa dalam buku yang berisi ulasan, usulan, dan kritikan, kemungkinan akan dianggap sebagai kritik yang tajam, terutama oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disadari olehnya. “Saya sadar bahwa usulan kritis dalam risalah ini oleh sebagian masyarakat, khususnya pemerintah Yudhoyono, dianggap terlalu keras dan tajam,” tulis Amien dalam kata pengantarnya.
Bagi Amien, masalah besar Indonesia tidak berada jauh di atas langit maupun di kedalaman tanah. Sederhana, kemiskinan, keterbelakangan, dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain. “Ini karena nasionalisme bangsa Indonesia terlalu sempit, hanya bergelora pada penampilan luarnya,” ujarnya.
Ibarat rumah di pinggir jalan raya, bangsa memiliki obsesi agar pagar rumah terlihat bersih, mengkilat, dan tidak boleh berdebu. Namun, ketika isi rumah dibawa pergi, pemilik rumah tidak melakukan tindakan apa pun. “Jadilah tampak muka rumah yang paling penting, yang lain masih bodoh, yang penting penampilan,” kritiknya. (cw-06)

Manado Post, July 21, 2008 at 08:57 AM

Rabu, 09 Juli 2008

WOC: Global Forum vs Deklarasi Djuanda 1957

Oleh: Steven Y Pailah

Setelah Duta Besar L.N. Palar, Theo Sambuaga, Jeffrey Massie (DPR-RI), kini kawanua lainnya, S.H. Sarundajang, Gubernur Sulut (ikut serta Noldy Tuerah dan Tony Wagey) hadir di PBB. Kapasitas Sarundajang sebagai delegasi RI (delri) pada The eighteenth Meeting of States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Ada tiga isu utama selama berkunjung ke PBB. Kewajiban sebagai (state parties) dalam UNCLOS, Promosi World Ocean Conference (WOC) dan Action Plan Coral Triangel. WOC dan CTI merupakan agenda internasional bulan Mei 2009 di Manado.

Kewajiban State Parties
Kehadiran delri di PBB, memenuhi kewajiban negara anggota yang meratifikasi hukum laut internasional (UNCLOS). Pertemuan di PBB adalah jadwal berkala tiga tahunan yang juga memilih hakim International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS).
Pada pemilihan Jumat 13 Juni 2008, terpilih tujuh hakim yakni Rudiger Wolfrum (Jerman), Akl (Lebanon), Marotta Rangel (Brazil), Chandrasekhara Rao (India), Jesus (Cape Verde), Bouguetaia (Algeria) dan Golitsyn (Russia). Dari presentasi tersebut, Indonesia belum pernah meloloskan nominator hakim di ITLOS. Padahal syaratnya mudah, setiap negara mengajukan dua orang calon yang memiliki reputasi terbaik, jujur, adil dan memiliki integritas serta kompeten di bidang hukum laut. Hal ini penting mengingat geografis Indonesia diakui dalam UNCLOS sebagai Negara Kepulauan (the Archipelagic State).

Selanjutnya kewajiban negara anggota diantaranya, mendepositkan ke PBB jumlah pulau, luas, dan besaran daratan maupun perairan baik territorial zone (12 mil), contigous zone (24 mil) maupun economic exlusive zone (ZEE 200 mil). Selain pendaftaran, pemberian nama atas pulau, Indonesia wajib mengumumkan navigasi / pelayaran internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Hal ini karena Indonesia memiliki pelayaran internasional yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Lombok, dan Ombai/Wetar.

Ingatkah kita kasus Bawean antara Hornet F-18 Navy-US berhadapan dengan F-16 AURI? Peristiwa awal 2001 ini terjadi saat manuver Hornet F-18 US melintasi Pulau Bawean dan tertangkap radar Bandara Djuanda Surabaya yang kemudian mengirim signal ke TNI-AU. Untung tidak sampai terjadi air-force clash. Argumen Amerika, bahwa konvoi Kapal Induk yang dijaga pesawat tempur sah melintasi perairan internasional. Sedangkan Indonesia menyatakan Hornet F-18 keluar jalur ALKI sebagaimana yang ditetapkan.

Tetapi, AS adalah negara yang tidak meratifikasi UNCLOS dan berpegang pada hukum udara menurut Konvensi Paris maupun Chicago 1918. Padahal, Indonesia menganut UNCLOS 1982, dimana berlaku juga lintasan wilayah udara di atas perairan nasional (ALKI). Hingga kini, belum ada yurisprudensi yang menetapkan hukum atas contoh permasalahan di atas.


Bercermin kasus di atas, Indonesia harus tegas menyatakan diri sebagai state parties dan melakukan lobby terhadap negara-negara besar yang tidak meratifikasi UNCLOS 1982. Sebagai catatan sejak Deklarasi Djuanda 1957, ikhwal konsepsi Negara Kepulauan (Bab IV UNCLOS ‘82), ada beberapa negara melakukan protes diplomatik yang tidak setuju terhadap Indonesia. Negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Perancis dan Selandia Baru.

Oleh karena itu, meski memiliki durasi singkat di PBB, selayaknya delegasi Indonesia melakukan lobby intensif untuk mempertegas konsepsi Negara Kepulauan. Pada intinya, konsepsi negara kepulauan berbicara pentingnya daratan dan lautan dipandang sebagai kesatuan wilayah utuh yang tidak terpisahkan.

Global Forum, WOC-CTI
Pelaksanaan WOC 2009 terkesan ingin mengikuti kesuksesan WOC 2008 di Hanoi, Vietnam. Global Forum melalui Dr. Biliana Cicin-Sain ketika di Hanoi, berjanji akan ikut merumuskan Deklarasi Manado. Akan tetapi, kepedulian tentang laut bukanlah milik kepentingan satu negara maupun lembaga internasional. Laut merupakan kepentingan bersama dan digunakan untuk kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, jika WOC 2009 mendatang draft yang dihasilkan merupakan aplikasi program Global Forum semata, maka usaha Gubernur Sarundajang sia-sia belaka. WOC 2009 hanya menjadi kepentingan negara-negara pendukung skema penyelamatan bumi dan lautan versi Global Forum.

Sepintas memang agenda Global Forum pro-kelautan. Tujuan utamanya adalah pengelolaan lautan, pantai dan pulau-pulau kecil di negara berkembang. Bahkan sebuah proposal kerja dan workshop Global Forum, telah disusun untuk memenuhi renstra 2006-2016. Menyimak perkembangan, apakah agenda Global Forum telah memenuhi kepentingan seluruh negara di dunia? Atau agenda 2016 hanya bagian kampanye kepedulian internasional tanpa memerhatikan karakteristik perairan tiap-tiap negara?

Sebagai contoh, Strategic Planning to Advance the Global Oceans Agenda 2006-2016, terdapat isu pengelolaan dan integrasi pantai dalam kerangka perubahan iklim (www.globaloceans.org). Selanjutnya, Global Forum mengangkat topik perubahan iklim, laut dan keamanan, tata pemerintahan serta ekosistem laut dalam penggunaan di batas yurisdiksi nasional. Argumen dan topik-topik semacam ini, sangat rentan tindakan okupasi wilayah negara dengan isu-isu penyatuan maupun integrasi pantai.
Memang, pengelolaan sumber daya laut membutuhkan kerja sama dan dukungan semua pihak. Permasalahannya jika pengelolaan bersama suatu kawasan ada beberapa negara tidak tunduk dalam UNCLOS 1982, apakah dapat dipertanggung jawabkan pelaksanaannya di lapangan?

Sebut saja pembuangan Limbah B3 lintas negara. Posisi Indonesia menolak perairannya dijadikan lintasan limbah berbahaya. Apakah ada punishment yang dijalani jika perairan sekitar Singapura dan Malaysia mengijinkan hal tersebut. Hukum mana yang harus ditaati? Sebaliknya, pengelolaan bersama-sama antarnegara apakah sudah memikirkan sumber budaya dan kearifan lokal? Belum lama ini, Australia membakar kapal-kapal penangkap ikan Indonesia dengan alasan melanggar wilayah konservasi laut Australia. Selanjutnya, dapatkah Indonesia menuntut kerugian yang diderita nelayan tradisional Indonesia?

Oleh karena itu, konsepsi Global Forum sesungguhnya hanya menyentuh kepentingan sebagian negara sesuai kepentingan nasionalnya saja. Keinginan pengelolaan bersama dan menjadikan kekayaan laut untuk kesejahteraan bersama masih jauh dari harapan. Kita cenderung melihat program berbasiskan luar negeri lebih baik dari program nasional kita. Atau cenderung mengedepankan agenda luar negeri masuk ke jantung kedaulatan kita. Padahal, banyak permasalahan nasional belum dapat diatasi. Apakah isu-isu WOC sudah menyentuh kepentingan di perbatasan? Apakah WOC mengangkat Indonesia sebagai Negara Kepulauan? Atau apakah dengan adanya WOC 2009, nelayan di perbatasan dan pulau-pulau kecil terlindungi dan produksinya meningkat?

Semangat Deklarasi Djuanda
Kadangkala demi memenuhi agenda global, kita mengorbankan kepentingan kelautan nasional. Untuk itu, WOC 2009 perlu ada penyegaran ide yang tentunya tidak semua berasal dari Global Forum. Refreshing ide diperlukan untuk menata tanggung jawab terhadap kelautan yang jauh lebih besar. Dalam tulisan ini, ada 5 agenda yang dapat ditawarkan.

Pertama: WOC 2009 harus ‘mencerdaskan’ masyarakat internasional tentang pentingnya semua negara menjadi anggota dan meratifikasi UNCLOS 1982.

Kedua: Pelaksanaan WOC 2009 seyogyanya menitikberatkan pengembangan kelautan dengan memerhatikan karakteristik setiap negara. Aturan-aturan lokal/tradisional harusnya tidak dilanggar untuk kepentingan konservasi semata. WOC 2009 harus menyerukan perlindungan terhadap “traditional fishing area” dan mengambil tindakan hukum terhadap pelaku illegal fishing.

Ketiga: Untuk Action Plan Coral Triangle (Indonesia, Filipina, Malaysia, Australia, Timor Leste, Selandia Baru dan Papua Nugini) hendaknya negara-negara maju ikut menandatanganinya. Hal ini merupakan kepedulian bersama (common sense) yang dapat menyelamatkan Segitiga Terumbu Karang. Segitiga terumbu karang merupakan wilayah sumber produksi dan perkembangbiakan yang menentukan populasi ikan di dunia.

Keempat: Jika dalam WOC 2009 ada seruan (Deklarasi Manado) tentang kelautan dan global warming, maka negara-negara maju harus wajib ikut pelestarian ekosistem pantai negara-negara berkembang. Hal ini sesuai dengan asas proporsionalitas tanggung jawab menyelamatkan bumi.

Kelima: kembalikan semangat Deklarasi Djuanda 1957, Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Deklarasi Djuanda merupakan deklarasi pro-laut dan kedaulatan maritim. Jika saat ini mulai dari sistem pelabuhan, pelayaran, angkutan dan transportasi laut, penangkapan ikan, riset, kapal-kapal komersil telah dikuasai saham asing, maka sudah selayaknya Pemerintah Indonesia mengubah kebijakan nasional dengan mengembalikan kedaulatan atas semua potensi sumber daya kelautan.

Dengan demikian, WOC+CT 2009 diharapkan menghasilkan kebijakan pro-kelautan, mengembalikan fungsi, ekosistem dan eksistensi laut bagi kepentingan bersama tanpa mengabaikan kedaulatan nasional. Karena hanya di laut, masa depan bumi dan umat manusia ditentukan.

Jumat, 04 Juli 2008

Sarundajang, Beyond WOC

Oleh : Michael F Umbas

WOC, satu dari sekian percikan gagasan yang menggenangi benak sosok Gubernur Sulut Sarundajang. Ia mengelaborasi gagasan brillian mengajak para pemimpin dunia menyelamatkan bumi dengan sebuah komitmen. Di Manado, sebuah kota kecil pada titik bumi, komitmen itu akan ditanam. Ia yakin, sebuah ide besar tentang penyelamatan bumi dan peradaban bisa lahir di mana saja, termasuk dari sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk global.

World Ocean Conference, sebuah konferensi dunia yang akan membahas tuntas masalah kelautan, implikasi pemanasan global, penyelamatan lingkungan dan ekosistem sungguh sebuah perhelatan sosial yang menarik. Iven ini, satu dari sebagian serial pertemuan besar yang menentukan masa depan peradaban bumi. Dampak pemanasan global, telah menjadi isu sentral dunia yang tak putus-putus menebar kekhawatiran terhadap eksistensi bumi. Atas dasar common awarenes itu Sarundajang menawarkan solusi, memberi diri pada universalitas.

Publik dan pemimpin dunia tengah berdiri di lembah kecemasan memandang fenomena perubahan iklim dunia, bumi yang sakit akibat suhu global yang memanas. Fakta bahwa kutub es di antartika mulai mencair dan makin memperbesar volume air laut dunia melahirkan kekuatiran akan terjadi evolusi struktur permukaan bumi. Ketakutan ini sungguh berdasar. Lihat saja aneka bencana yang melanda di sejumlah belahan dunia. Termasuk yang mencengangkan, Tsunami yang melululantahkan Aceh dan negara-negara di jazirah laut hindia.

Fenomena yang terus menerus terjadi ini memunculkan pandangan realistis bahwa memang harus ada langkah penyelamatan bumi. Para aktivis lingkungan dunia pada akhirnya menemukan pembenaran atas dalil mereka tentang dampak pembangunan dan industri yang tidak taat lingkungan, pada akhirnya mengakibatkan kerusakan bumi.

Dari balik ruang kerja di Jl 17 Agustus, Manado, sosok bernama Sinyo Harry Sarundajang menambatkan kekuatiran yang sama. Ia menegasikan sebuah pemikiran; urgensi pertemuan global tentang masa depan laut dan implikasi terhadap pemanasan global. Ya, ¾ bumi adalah laut, dan lautlah yang harus diselamatkan jika kita ingin menyelamatkan bumi dan mahluk hidup yang ada di dalamnya.

Sebersit ide yang membuncah, lalu didiskusikan secara serius hingga terbitlah keberanian untuk melontarkan ide ke pemerintah pusat. Tak berlebihan jika memang menguatnya gagasan Sarundajang mewujudkan pertemuan ini karena pengaruh teori visioner Sam Ratulangi tentang Pasifik. Posisi Sulut yang strategis menghadap pasifik yang kini menjadi penentu arus ekonomi dunia, sebagai Provinsi kepulauan, dimana dari 92 pulau terluar di Indonesia dua ada di Sulut, yakni P.Miangas dan P.Marore yang berbatasan dengan Filipina. Sulut juga dikenal memiliki gunung bawah laut yakni Gunung Mahangetang dan Gunung Sub Marine. Yang paling menarik yakni, posisi Sulut diapit oleh Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan III.

Inilah saatnya Sulut mengambil peran karena geostrategi Pasifik yang sulit dielakkan. Semangat itu memantik semangat Sarundajang untuk ‘mementaskan’ Sulut di mata dunia, melalui iven lokal untuk menjawab kepentingan masyarakat global.

Inisiatif lokal, yang kemudian ‘terbang’ ke Istana merdeka lalu disambut hangat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ide ini kemudian dikemas menjadi label ‘produk’ Indonesia untuk selanjutnya ditawarkan kepada stakeholders international.

Kegigihan Sarundajang memperjuangkan ide WOC sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan dan dampak global warming, tak pelak membuat pemerintah pusat memberi dukungan penuh. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menyetujui dibentuknya panitia nasional WOC dengan menerbitkan SK Presiden No 23 Tahun 2007, tentang panitia nasional penyelenggaraan Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference) Tahun 2009Sesudah mendapat ‘endorsement’ RI-1 melalui sebuah Keppres, kini ‘tendangan bola’ berbalik ke Sulut.

Mempersiapkan segala sesuatu menyangkut penyelenggaraan kegiatan dalam waktu terbatas. Dengan sikap optimis, Gubernur Sarundajang menepis sederet gundah sebagian kalangan yang menilai sulit menggelar iven dunia dengan segala keterbatasan infrastruktur.

Semangat untuk mewujudkan ide ini dibuktikan dengan sikap all out menggerakan segala potensi lokal, agar gagasan ini bisa menjadi kenyataan. Betapa tidak, inilah pembuktian kepada khalayak nasional bahwa Sulut bisa menjadi the next Bali dalam hal penyelenggaraan hajatan internasional.

Waktu persiapan yang terbilang singkat , tak menyurutkan langkah pemerintah daerah ditunjang pemerintah pusat untuk bahu membahu menyiapkan segala fasilitas penunjang konferensi yang memiliki tema “Climate Change Impacts To Oceans and The Role of Ocean To Climate Change”
WOC yang akan digelar pada tanggal 11-15 Mei 2009 ini sungguh menarik, karena rencananya dihadiri oleh negara-negara yang memiliki wilayah laut dan pantai, dan ilmuwan, LSM, jurnalis, serta sektor swastaTujuan WOC untuk mencapaikesepakatan internasional dalam pemanfaatan sumberdaya laut bagi kesejahteraan umat manusia.

Lalu, topik bahasan utama yakni dampak perubahan iklim global terhadap Laut (Impacts Of Global Climate Change on Ocean), Keanekaragaman Hayati Kelautan (Marine Mega Biodiversity), Industri dan jasa Kelautan (Maritime Industries & Services), Penanganan Bencana Kelautan (Marine Hazard Mitigations), Laut sebagai masa depan (Ocean As The Next Frontier)

WOC 2009, memang merupakan iven strategis, karena dirancang dengan beberapa skenario, mencakup 5 Tema dalam 5 Sesi Paralel. Tentu, yang paling fenomenal, WOC bakal dihadiri sekitar 2500 hingga 3000 peserta dari 150 Negara. Para peserta ini terdiri dari Kepala Negara, Pengambil kebijakan, Ilmuwan, Sektor Swasta, LSM, Jurnalis, Biro Perjalanan, dan Pemangku Kepentingan lainnya· Untuk iven sekelas ini, pembukaan akan dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Kemudian, iven utama dengan 5 Sesi Pleno, 5 Pembicara Tokoh Dunia di Bidang Kelautan.

Yang paling menarik, yakni para keynote speakers yang melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh dunia, seperti Presiden Republik Indonesia, Sekretaris Jenderal PBB, Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, Putera Mahkota Kerajaan Belanda, Pangeran Alexander, Perdana Menteri China, Perdana Menteri Australia, Mantan Presiden RI, BJ. Habibie, Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, Emil Salim.

Ada sejumlah hal yang diharapkan sebagai wujud implikasi dari WOC, antara lain munculnya Deklarasi Manado, sebagai the new paradigm sekaligus starting point bagi percepatan pembangunan kelautan di tingkat nasional, regional dan internasional. Indonesia sebagai negara kepulauan dapat menjadi centre point pengelolaan kelautan dunia. Dapat mencarikan jalan keluar bagi penyelesaian berbagai permasalahan kelautan dunia saat ini. Berdampak positif bagi sinergitas kemajuan pembangunan di berbagai bidang untuk Sulawesi Utara khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Wajar jadinya jika Gubernur Sarundajang selalu berujar : kita berada pada the point of no return. Ya, Sesuatu yang spektakuler sedang berada di depan mata. Sederet aral melintang harus dilewati, aneka isu miring harus dijawab dengan kesungguhan bahwasanya ide ini benar-benar murni untuk kemanusian, peradaban, dan kesejahteraan. ***

UNESCO Supports Planned World Ocean Conference in Manado

Manado, North Sulawesi (ANTARA News) - The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) has pledged its support for the World Ocean Conference (WOC) to be held in Manado from May 11 to 15, 2009 as part of the efforts to deal with global warming problems. "Several member states of Unesco have expressed their readiness to participate in WOC in Manado, as their response to the threat of environmental and marine degradation," North Sulawesi Governor Sarundajang told the press here on Friday. Sarundajang had attended the Intergovernmental Oceanographic Commission Forum, the 41st Session of the Unesco Executive Council, in Paris, from June 24 to July 1, 2008. Some 50 countries attending the Unesco Forum expressed their support to the Indonesian government`s initiative to organize WOC because they considered that marine environmental preservation was crucial for the whole world, he said. The governor and Indonesian Ambassador to Unesco Prof. Dr Aman Wirakartakusumah had been asked to make presentations on the planned WOC at the UNESCO meeting. They also held a meeting with Unesco`s Deputy Director of the World heritage Center Kishore Rao to report on what North Sulawesi had done to prepare its Bunaken Marine Park as a world Marine mega Bio-Diversity site. (*)

Senin, 23 Juni 2008

DUNIA MENDUKUNG WOC




“Diplomasi Manado digunakan di Markas Besar Gedung PBB di New York”.

Laporan: Dr Tonny Wagey & Noldy Tuerah, New York.

Seratus dua puluh tiga negara yang tergabung dalam The Eighteenth Meeting of States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea menyambut dan mendukung pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) 2009 di Manado, Indonesia.

Antusiasme para negara-negara sahabat nampak dari ekspresi mereka menanyakan kapan undangan secara resmi akan dikirim oleh pemerintah Indonesia. Pertanyaan ini dikemukanan banyak delegasi peserta Meeting of States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea pada delegasi Indonesia saat istirahat setelah selesai disampaikan secara resmi oleh delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional (Deplu) dan Gubernur Sulawesi Utara dan penyampaian oleh Bapak Gubernur Sulawesi Utara S.H. Sarundajang mengundang secara resmi bagi para peserta sidang untuk menghadiri konferensi Kelautan Dunia di Manado tanggal 11-15 Mei 2009. Bersamaan dengan penyampaian resmi tersebut, dibagikan pada masing-masing ketua delegasi dokumen “Aide Memoire” yang berisi Policy Paper, substansi World Ocean Conference (WOC), skedul acara pelaksanaan, dan brosur.

Penyampaian secara resmi pemerintah Indonesia mengenai Indonesia akan menjadi tuan rumah pelaksanaan World Ocean Conference, 11-15 Mei 2009 pada forum resmi di ruang konferensi I markas besar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) New York pada tanggal 20 Mei 2008 jam 15’00 waktu setempat, atau jam 03’00 subuh Waktu Indonesia Tengah (WIT), “menjadi momentum sangat penting dan bersejarah bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia dan khususnya masyarakat Sulawesi Utara”. Karena WOC adalah idea murni dari Indonesia yang mampu mengkombinasikan dua substansi masalah yaitu kelautan dan perubahan cuaca. Sejauh ini hanya pemanasan global (Global Warming) menyebabkan terjadinya perubahan cuaca sangat ekstrim, yang menjadi perhatian masyarakat dunia.

Bagaimana memahami perubahan cuaca berpengaruh terhadap kelautan, dan peran laut terhadap perubahan cuaca yang akan dibahas khusus pada World Ocean Conference (WOC) menjadi daya tarik tersendiri bagi negara-negara peserta di PBB untuk dapat dipahami bersama, serta dapat dituangkan dalam suatu bentuk deklarasi yang akan disepakati bersama. Kemudian deklarasi tersebut (Manado Ocean Declaration) dapat ditindak lanjuti di masing-masing negara untuk menyelamatkan bumi yang kita huni bersama serta kelangsungan hidup anak cucu kita sebagai generasi penerus dimasa akan datang.

Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration) akan menjadi salah satu tonggak sejarah dan dokumen penting untuk kelangsungan planet bumi yang sama-sama kita huni saat ini, sehingga dokument tersebut akan diperjuangkan oleh wakil tetap pemerintah Indonesia di PBB untuk dimasukan dalam agenda resmi dan dibahas dalam Meeting of the States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea.

Dua hari sebelum disampaikan secara resmi di forum PBB mengenai penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) tanggal 11-15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara, Indonesia, delegasi Indonesia yang terdiri dari Departemen Luar Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Sulawesi Utara, yang dibagi dalam beberapa kelompok kecil secara maraton sudah melakukan pertemuan-pertemuan informal dengan 23 pimpinan delegasi negara-negara peserta Meeting of the States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea dan para Duta Besar perwakilan tetap di PBB.

Negara-negara tersebut sengaja dipilih oleh Deplu sebagai negara-negara yang berpengaruh di region mereka masing-masing dan memiliki arah kebijakan internasional yang sama dengan Indonesia (like-minded countries). Melalui beberapa negara kunci ini, diharapkan akan mempengaruhi negara-negara lain di region mereka untuk menyampaikan keinginan Indonesia sebagai penggagas idea dan penyelenggara World Ocean Conference (WOC).

Jepang, Korsel, China, Brunei dan Malaysia dipilih untuk dapat mempengaruhi negara-negara lain di Asia Timur dan Asia Tenggara, India untuk negara-negara di Asia Barat, Mesir dan Oman untuk negara-negara di Timur Tengah, Afrika Selatan dan Tanzania untuk negara-negara di Benua Afrika, Jamaica dan Chili untuk negara-negara di America Tengah dan Selatan, Belanda dan Jerman untuk negara-negara tergabung dalam Uni Eropa, selain di lakukan lobby khusus terhadap delegasi USA, Canada, dan Australia.

Strategi komunikasi informal seperti ini dianggap lebih efektif kata Edy Pratomo sebagai ketua delegasi Indonesia. Lebih lanjut beliau katakan misi delegasi Indonesia dalam pertemuan-pertemuan informal seperti ini untuk menjelaskan substansi dan meyakinkan pada mereka, begitu pentinya World Ocean Conference (WOC) bagi umat manusia. Sehingga tidak berlebihan beliau katakan bahwa ini adalah “Diplomasi Manado” terhadap perwakilan negara-negara sahabat di PBB, sebab kita semua harus menjelaskan posisi kota Manado dan melibatkan langsung orang Manado (S.H. Sarundajang, Noldy Tuerah, dan Tony Wagey) dalam misi khusus yang sangat penting ini.

Saya memberikan respek yang tinggi bagi pemerintah provinsi Sulawesi Utara yang sangat serius memperjuangkan untuk suksesnya penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) di Manado, kata Edy Pratomo. Kehadiran Gubernur di forum PBB seperti ini menunjukkan pada masyarakat dunia bahwa pemerintah Indonesia dan Pemerintah Daerah sangat berkomitment menjadi tuan rumah yang baik untuk penyelenggaraan event internasional. Jarang ketemu Gubernur seperti Bapak Sarundajang, yang all out mempromosikan Sulawesi Utara sebagai tempat yang layak untuk penyelenggaraan meeting, incentive, conference, and exhibition (MICE), lanjut beliau bertutur.

Hal serupa dikemukakan oleh Bapak Marty Natalegawa (Duta Besar Tetap Indonesia untuk PBB di New York), saya baru kali ini ketemu seorang pemimpin daerah seperti Bapak Sarundajang yang memperjuangkan issue global seperti World Ocean Conference (WOC), dan turut hadir untuk menyampaikan dalam forum PBB seperti ini.

Pengalaman saya bekerja bertahun-tahun di Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di New York, belum pernah saya melihat seorang Gubernur dari Indonesia ikut hadir secara aktif di forum PBB, kata seorang staf lokal di (PTRI).

Pemerintah Indonesia saat berada pada “the point of no return”, artinya World Ocean Conference (WOC) harus sukses dilaksanakan di Manado, karena sudah di dukung oleh masyarakat dunia melalui perwakilan-perwakilan mereka di PBB, demikian kata Gubernur S. H. Sarundajang. (***)