OFFICIAL BLOG GUBERNUR SARUNDAJANG & WOC'09

SELAMAT DATANG !
Blog ini untuk informasi dan sosialisasi kegiatan Gubernur Sinyo Sarundajang dalam rangka mempromosikan World Ocean Conference (WOC) Mei 2009, di Manado, Sulawesi Utara Indonesia

GUBERNUR SAAT BERBICARA DI GLOBAL OCEAN CONFERENCE HANOI

Rabu, 09 Juli 2008

WOC: Global Forum vs Deklarasi Djuanda 1957

Oleh: Steven Y Pailah

Setelah Duta Besar L.N. Palar, Theo Sambuaga, Jeffrey Massie (DPR-RI), kini kawanua lainnya, S.H. Sarundajang, Gubernur Sulut (ikut serta Noldy Tuerah dan Tony Wagey) hadir di PBB. Kapasitas Sarundajang sebagai delegasi RI (delri) pada The eighteenth Meeting of States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Ada tiga isu utama selama berkunjung ke PBB. Kewajiban sebagai (state parties) dalam UNCLOS, Promosi World Ocean Conference (WOC) dan Action Plan Coral Triangel. WOC dan CTI merupakan agenda internasional bulan Mei 2009 di Manado.

Kewajiban State Parties
Kehadiran delri di PBB, memenuhi kewajiban negara anggota yang meratifikasi hukum laut internasional (UNCLOS). Pertemuan di PBB adalah jadwal berkala tiga tahunan yang juga memilih hakim International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS).
Pada pemilihan Jumat 13 Juni 2008, terpilih tujuh hakim yakni Rudiger Wolfrum (Jerman), Akl (Lebanon), Marotta Rangel (Brazil), Chandrasekhara Rao (India), Jesus (Cape Verde), Bouguetaia (Algeria) dan Golitsyn (Russia). Dari presentasi tersebut, Indonesia belum pernah meloloskan nominator hakim di ITLOS. Padahal syaratnya mudah, setiap negara mengajukan dua orang calon yang memiliki reputasi terbaik, jujur, adil dan memiliki integritas serta kompeten di bidang hukum laut. Hal ini penting mengingat geografis Indonesia diakui dalam UNCLOS sebagai Negara Kepulauan (the Archipelagic State).

Selanjutnya kewajiban negara anggota diantaranya, mendepositkan ke PBB jumlah pulau, luas, dan besaran daratan maupun perairan baik territorial zone (12 mil), contigous zone (24 mil) maupun economic exlusive zone (ZEE 200 mil). Selain pendaftaran, pemberian nama atas pulau, Indonesia wajib mengumumkan navigasi / pelayaran internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Hal ini karena Indonesia memiliki pelayaran internasional yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Lombok, dan Ombai/Wetar.

Ingatkah kita kasus Bawean antara Hornet F-18 Navy-US berhadapan dengan F-16 AURI? Peristiwa awal 2001 ini terjadi saat manuver Hornet F-18 US melintasi Pulau Bawean dan tertangkap radar Bandara Djuanda Surabaya yang kemudian mengirim signal ke TNI-AU. Untung tidak sampai terjadi air-force clash. Argumen Amerika, bahwa konvoi Kapal Induk yang dijaga pesawat tempur sah melintasi perairan internasional. Sedangkan Indonesia menyatakan Hornet F-18 keluar jalur ALKI sebagaimana yang ditetapkan.

Tetapi, AS adalah negara yang tidak meratifikasi UNCLOS dan berpegang pada hukum udara menurut Konvensi Paris maupun Chicago 1918. Padahal, Indonesia menganut UNCLOS 1982, dimana berlaku juga lintasan wilayah udara di atas perairan nasional (ALKI). Hingga kini, belum ada yurisprudensi yang menetapkan hukum atas contoh permasalahan di atas.


Bercermin kasus di atas, Indonesia harus tegas menyatakan diri sebagai state parties dan melakukan lobby terhadap negara-negara besar yang tidak meratifikasi UNCLOS 1982. Sebagai catatan sejak Deklarasi Djuanda 1957, ikhwal konsepsi Negara Kepulauan (Bab IV UNCLOS ‘82), ada beberapa negara melakukan protes diplomatik yang tidak setuju terhadap Indonesia. Negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Perancis dan Selandia Baru.

Oleh karena itu, meski memiliki durasi singkat di PBB, selayaknya delegasi Indonesia melakukan lobby intensif untuk mempertegas konsepsi Negara Kepulauan. Pada intinya, konsepsi negara kepulauan berbicara pentingnya daratan dan lautan dipandang sebagai kesatuan wilayah utuh yang tidak terpisahkan.

Global Forum, WOC-CTI
Pelaksanaan WOC 2009 terkesan ingin mengikuti kesuksesan WOC 2008 di Hanoi, Vietnam. Global Forum melalui Dr. Biliana Cicin-Sain ketika di Hanoi, berjanji akan ikut merumuskan Deklarasi Manado. Akan tetapi, kepedulian tentang laut bukanlah milik kepentingan satu negara maupun lembaga internasional. Laut merupakan kepentingan bersama dan digunakan untuk kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, jika WOC 2009 mendatang draft yang dihasilkan merupakan aplikasi program Global Forum semata, maka usaha Gubernur Sarundajang sia-sia belaka. WOC 2009 hanya menjadi kepentingan negara-negara pendukung skema penyelamatan bumi dan lautan versi Global Forum.

Sepintas memang agenda Global Forum pro-kelautan. Tujuan utamanya adalah pengelolaan lautan, pantai dan pulau-pulau kecil di negara berkembang. Bahkan sebuah proposal kerja dan workshop Global Forum, telah disusun untuk memenuhi renstra 2006-2016. Menyimak perkembangan, apakah agenda Global Forum telah memenuhi kepentingan seluruh negara di dunia? Atau agenda 2016 hanya bagian kampanye kepedulian internasional tanpa memerhatikan karakteristik perairan tiap-tiap negara?

Sebagai contoh, Strategic Planning to Advance the Global Oceans Agenda 2006-2016, terdapat isu pengelolaan dan integrasi pantai dalam kerangka perubahan iklim (www.globaloceans.org). Selanjutnya, Global Forum mengangkat topik perubahan iklim, laut dan keamanan, tata pemerintahan serta ekosistem laut dalam penggunaan di batas yurisdiksi nasional. Argumen dan topik-topik semacam ini, sangat rentan tindakan okupasi wilayah negara dengan isu-isu penyatuan maupun integrasi pantai.
Memang, pengelolaan sumber daya laut membutuhkan kerja sama dan dukungan semua pihak. Permasalahannya jika pengelolaan bersama suatu kawasan ada beberapa negara tidak tunduk dalam UNCLOS 1982, apakah dapat dipertanggung jawabkan pelaksanaannya di lapangan?

Sebut saja pembuangan Limbah B3 lintas negara. Posisi Indonesia menolak perairannya dijadikan lintasan limbah berbahaya. Apakah ada punishment yang dijalani jika perairan sekitar Singapura dan Malaysia mengijinkan hal tersebut. Hukum mana yang harus ditaati? Sebaliknya, pengelolaan bersama-sama antarnegara apakah sudah memikirkan sumber budaya dan kearifan lokal? Belum lama ini, Australia membakar kapal-kapal penangkap ikan Indonesia dengan alasan melanggar wilayah konservasi laut Australia. Selanjutnya, dapatkah Indonesia menuntut kerugian yang diderita nelayan tradisional Indonesia?

Oleh karena itu, konsepsi Global Forum sesungguhnya hanya menyentuh kepentingan sebagian negara sesuai kepentingan nasionalnya saja. Keinginan pengelolaan bersama dan menjadikan kekayaan laut untuk kesejahteraan bersama masih jauh dari harapan. Kita cenderung melihat program berbasiskan luar negeri lebih baik dari program nasional kita. Atau cenderung mengedepankan agenda luar negeri masuk ke jantung kedaulatan kita. Padahal, banyak permasalahan nasional belum dapat diatasi. Apakah isu-isu WOC sudah menyentuh kepentingan di perbatasan? Apakah WOC mengangkat Indonesia sebagai Negara Kepulauan? Atau apakah dengan adanya WOC 2009, nelayan di perbatasan dan pulau-pulau kecil terlindungi dan produksinya meningkat?

Semangat Deklarasi Djuanda
Kadangkala demi memenuhi agenda global, kita mengorbankan kepentingan kelautan nasional. Untuk itu, WOC 2009 perlu ada penyegaran ide yang tentunya tidak semua berasal dari Global Forum. Refreshing ide diperlukan untuk menata tanggung jawab terhadap kelautan yang jauh lebih besar. Dalam tulisan ini, ada 5 agenda yang dapat ditawarkan.

Pertama: WOC 2009 harus ‘mencerdaskan’ masyarakat internasional tentang pentingnya semua negara menjadi anggota dan meratifikasi UNCLOS 1982.

Kedua: Pelaksanaan WOC 2009 seyogyanya menitikberatkan pengembangan kelautan dengan memerhatikan karakteristik setiap negara. Aturan-aturan lokal/tradisional harusnya tidak dilanggar untuk kepentingan konservasi semata. WOC 2009 harus menyerukan perlindungan terhadap “traditional fishing area” dan mengambil tindakan hukum terhadap pelaku illegal fishing.

Ketiga: Untuk Action Plan Coral Triangle (Indonesia, Filipina, Malaysia, Australia, Timor Leste, Selandia Baru dan Papua Nugini) hendaknya negara-negara maju ikut menandatanganinya. Hal ini merupakan kepedulian bersama (common sense) yang dapat menyelamatkan Segitiga Terumbu Karang. Segitiga terumbu karang merupakan wilayah sumber produksi dan perkembangbiakan yang menentukan populasi ikan di dunia.

Keempat: Jika dalam WOC 2009 ada seruan (Deklarasi Manado) tentang kelautan dan global warming, maka negara-negara maju harus wajib ikut pelestarian ekosistem pantai negara-negara berkembang. Hal ini sesuai dengan asas proporsionalitas tanggung jawab menyelamatkan bumi.

Kelima: kembalikan semangat Deklarasi Djuanda 1957, Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Deklarasi Djuanda merupakan deklarasi pro-laut dan kedaulatan maritim. Jika saat ini mulai dari sistem pelabuhan, pelayaran, angkutan dan transportasi laut, penangkapan ikan, riset, kapal-kapal komersil telah dikuasai saham asing, maka sudah selayaknya Pemerintah Indonesia mengubah kebijakan nasional dengan mengembalikan kedaulatan atas semua potensi sumber daya kelautan.

Dengan demikian, WOC+CT 2009 diharapkan menghasilkan kebijakan pro-kelautan, mengembalikan fungsi, ekosistem dan eksistensi laut bagi kepentingan bersama tanpa mengabaikan kedaulatan nasional. Karena hanya di laut, masa depan bumi dan umat manusia ditentukan.