Oleh : Aldy Madjid 29-Jul-2008, 17:16:32 WIB - [www.kabarindonesia.com] |
KabarIndonesia – Direktur Jenderal (Dirjen) Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri (Deplu) Edy Pratomo mengatakan, Indonesia akan memprakarsai World Ocean Conference (WOC) 2009 yang akan digelar pada 11-15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara, dan akan mendeklarasikan Manado Ocean Declaration (MOD). “Pada tanggal 11-15 Mei 2009 Indonesia akan memprakarsai WOC 2009 yang akan digelar di Manado, Sulawesi Utara,” kata Edy Pratomo disela-sela acara jumpa pers di Hotel Borobudur Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Rabu (297). Edy mengatakan, acara ini akan dihadiri sekitar 1.000 peserta dari 111 negara yang terdiri dari negara maju dan negara berkembang seperti negara yang memiliki laut dengan jumlah 36 negara maju, 45 negara berkembang dan 30 negara belum berkembang. Selain itu kata Edy, acara ini akan dapat mengangkat peran dan fungsi strategis terhadap perubahan iklim termasuk keberadaan laut. “Dala acara nanti, kami berharap dapat mampu mengangkat keberadaan laut yang memiliki peran dan fungsi strategis terhadap perubahan iklim karena dapat mengurangi emisi carbon,” ujarnya. Edy juga mengatakan, masyarakat dunia perlu komitmen untuk memobilisasi upaya hingga ke tingkat pengambil kebijakan politik yang paling tinggi, guna menetapkan langka-langka penyelamatan laut dalam kaitan perubahan iklim global. “Untuk menggalang komitmen masyarakat dunia dalam memelihara fungsi laut sebagai upaya adaptasi dan mitigasi dalam perubahan iklim, Indonesia harus melaksanakan WOC,” paparnya. Sementara itu, Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Sekmenkokesra) Indroyono Susilo mengatakan, even ini merupakan pertama kalinya Indonesia memiliki inisiatif untuk mengadakan konferensi internasional. "Tema konferensi internasional ini 'Ocean and Climate Change' yang ingin mengangkat keberadaan laut dalam peran dan fungi strategisnya terhadap perubahan iklim global," ujar Indroyono. Selain itu dikatakan Staf Ahli Menteri Bidang Kebijakan Publik Departemen Kelautan dan Perikanan Gellwyn Jusuf, tujuan diadakan seminar ini untuk menggalang komitmen masyarakat dunia dalam memelihara fungsi laut sebagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Saat WOC 2009 berlangsung, dituturkan Gelwyn, akan dilakukan beberapa kegiatan, seperti Coral Triangle Initiative (CTI). Pertemuan ini dihadiri Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste. "Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar sudah seharusnya memprakarsai konferensi tentang laut. Negara-negara lain itu menunggu kita bereaksi dan pasti mereka mendukung," tuturnya. Konferensi ini akan membahas peran laut dalam perubahan iklim global, keanekaragaman hayati laut dunia, industri dan jasa maritim, mitigasi bencana alam di laut, dan pengelolaan laut dan pesisir terpadu berdasar ekosistem. "Kami mengajak berbagai pihak untuk bekerja sama, selain pelaksana Deplu RI, Departemen Kelautan dan Perikanan, LSM juga kami libatkan," tutur Gellwyn. Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/ Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera: http://www.kabarindonesia.com/ |
|
GUBERNUR SAAT BERBICARA DI GLOBAL OCEAN CONFERENCE HANOI
Rabu, 30 Juli 2008
WOC 2009 Mampu Mengurangi Emisi Carbon Dan Menjawab Perubahan Iklim
Senin, 21 Juli 2008
Amien Support SHS Tolak MSM
Rabu, 09 Juli 2008
WOC: Global Forum vs Deklarasi Djuanda 1957
Oleh: Steven Y Pailah
Setelah Duta Besar L.N. Palar, Theo Sambuaga, Jeffrey Massie (DPR-RI), kini kawanua lainnya, S.H. Sarundajang, Gubernur Sulut (ikut serta Noldy Tuerah dan Tony Wagey) hadir di PBB. Kapasitas Sarundajang sebagai delegasi RI (delri) pada The eighteenth Meeting of States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Ada tiga isu utama selama berkunjung ke PBB. Kewajiban sebagai (state parties) dalam UNCLOS, Promosi World Ocean Conference (WOC) dan Action Plan Coral Triangel. WOC dan CTI merupakan agenda internasional bulan Mei 2009 di Manado.
Kewajiban State Parties
Kehadiran delri di PBB, memenuhi kewajiban negara anggota yang meratifikasi hukum laut internasional (UNCLOS). Pertemuan di PBB adalah jadwal berkala tiga tahunan yang juga memilih hakim International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS).
Pada pemilihan Jumat 13 Juni 2008, terpilih tujuh hakim yakni Rudiger Wolfrum (Jerman), Akl (Lebanon), Marotta Rangel (Brazil), Chandrasekhara Rao (India), Jesus (Cape Verde), Bouguetaia (Algeria) dan Golitsyn (Russia). Dari presentasi tersebut, Indonesia belum pernah meloloskan nominator hakim di ITLOS. Padahal syaratnya mudah, setiap negara mengajukan dua orang calon yang memiliki reputasi terbaik, jujur, adil dan memiliki integritas serta kompeten di bidang hukum laut. Hal ini penting mengingat geografis Indonesia diakui dalam UNCLOS sebagai Negara Kepulauan (the Archipelagic State).
Selanjutnya kewajiban negara anggota diantaranya, mendepositkan ke PBB jumlah pulau, luas, dan besaran daratan maupun perairan baik territorial zone (12 mil), contigous zone (24 mil) maupun economic exlusive zone (ZEE 200 mil). Selain pendaftaran, pemberian nama atas pulau, Indonesia wajib mengumumkan navigasi / pelayaran internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Hal ini karena Indonesia memiliki pelayaran internasional yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Lombok, dan Ombai/Wetar.
Ingatkah kita kasus Bawean antara Hornet F-18 Navy-US berhadapan dengan F-16 AURI? Peristiwa awal 2001 ini terjadi saat manuver Hornet F-18 US melintasi Pulau Bawean dan tertangkap radar Bandara Djuanda Surabaya yang kemudian mengirim signal ke TNI-AU. Untung tidak sampai terjadi air-force clash. Argumen Amerika, bahwa konvoi Kapal Induk yang dijaga pesawat tempur sah melintasi perairan internasional. Sedangkan Indonesia menyatakan Hornet F-18 keluar jalur ALKI sebagaimana yang ditetapkan.
Tetapi, AS adalah negara yang tidak meratifikasi UNCLOS dan berpegang pada hukum udara menurut Konvensi Paris maupun Chicago 1918. Padahal, Indonesia menganut UNCLOS 1982, dimana berlaku juga lintasan wilayah udara di atas perairan nasional (ALKI). Hingga kini, belum ada yurisprudensi yang menetapkan hukum atas contoh permasalahan di atas.
Bercermin kasus di atas, Indonesia harus tegas menyatakan diri sebagai state parties dan melakukan lobby terhadap negara-negara besar yang tidak meratifikasi UNCLOS 1982. Sebagai catatan sejak Deklarasi Djuanda 1957, ikhwal konsepsi Negara Kepulauan (Bab IV UNCLOS ‘82), ada beberapa negara melakukan protes diplomatik yang tidak setuju terhadap Indonesia. Negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Perancis dan Selandia Baru.
Oleh karena itu, meski memiliki durasi singkat di PBB, selayaknya delegasi Indonesia melakukan lobby intensif untuk mempertegas konsepsi Negara Kepulauan. Pada intinya, konsepsi negara kepulauan berbicara pentingnya daratan dan lautan dipandang sebagai kesatuan wilayah utuh yang tidak terpisahkan.
Global Forum, WOC-CTI
Pelaksanaan WOC 2009 terkesan ingin mengikuti kesuksesan WOC 2008 di Hanoi, Vietnam. Global Forum melalui Dr. Biliana Cicin-Sain ketika di Hanoi, berjanji akan ikut merumuskan Deklarasi Manado. Akan tetapi, kepedulian tentang laut bukanlah milik kepentingan satu negara maupun lembaga internasional. Laut merupakan kepentingan bersama dan digunakan untuk kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, jika WOC 2009 mendatang draft yang dihasilkan merupakan aplikasi program Global Forum semata, maka usaha Gubernur Sarundajang sia-sia belaka. WOC 2009 hanya menjadi kepentingan negara-negara pendukung skema penyelamatan bumi dan lautan versi Global Forum.
Sepintas memang agenda Global Forum pro-kelautan. Tujuan utamanya adalah pengelolaan lautan, pantai dan pulau-pulau kecil di negara berkembang. Bahkan sebuah proposal kerja dan workshop Global Forum, telah disusun untuk memenuhi renstra 2006-2016. Menyimak perkembangan, apakah agenda Global Forum telah memenuhi kepentingan seluruh negara di dunia? Atau agenda 2016 hanya bagian kampanye kepedulian internasional tanpa memerhatikan karakteristik perairan tiap-tiap negara?
Sebagai contoh, Strategic Planning to Advance the Global Oceans Agenda 2006-2016, terdapat isu pengelolaan dan integrasi pantai dalam kerangka perubahan iklim (www.globaloceans.org). Selanjutnya, Global Forum mengangkat topik perubahan iklim, laut dan keamanan, tata pemerintahan serta ekosistem laut dalam penggunaan di batas yurisdiksi nasional. Argumen dan topik-topik semacam ini, sangat rentan tindakan okupasi wilayah negara dengan isu-isu penyatuan maupun integrasi pantai.
Memang, pengelolaan sumber daya laut membutuhkan kerja sama dan dukungan semua pihak. Permasalahannya jika pengelolaan bersama suatu kawasan ada beberapa negara tidak tunduk dalam UNCLOS 1982, apakah dapat dipertanggung jawabkan pelaksanaannya di lapangan?
Sebut saja pembuangan Limbah B3 lintas negara. Posisi Indonesia menolak perairannya dijadikan lintasan limbah berbahaya. Apakah ada punishment yang dijalani jika perairan sekitar Singapura dan Malaysia mengijinkan hal tersebut. Hukum mana yang harus ditaati? Sebaliknya, pengelolaan bersama-sama antarnegara apakah sudah memikirkan sumber budaya dan kearifan lokal? Belum lama ini, Australia membakar kapal-kapal penangkap ikan Indonesia dengan alasan melanggar wilayah konservasi laut Australia. Selanjutnya, dapatkah Indonesia menuntut kerugian yang diderita nelayan tradisional Indonesia?
Oleh karena itu, konsepsi Global Forum sesungguhnya hanya menyentuh kepentingan sebagian negara sesuai kepentingan nasionalnya saja. Keinginan pengelolaan bersama dan menjadikan kekayaan laut untuk kesejahteraan bersama masih jauh dari harapan. Kita cenderung melihat program berbasiskan luar negeri lebih baik dari program nasional kita. Atau cenderung mengedepankan agenda luar negeri masuk ke jantung kedaulatan kita. Padahal, banyak permasalahan nasional belum dapat diatasi. Apakah isu-isu WOC sudah menyentuh kepentingan di perbatasan? Apakah WOC mengangkat Indonesia sebagai Negara Kepulauan? Atau apakah dengan adanya WOC 2009, nelayan di perbatasan dan pulau-pulau kecil terlindungi dan produksinya meningkat?
Semangat Deklarasi Djuanda
Kadangkala demi memenuhi agenda global, kita mengorbankan kepentingan kelautan nasional. Untuk itu, WOC 2009 perlu ada penyegaran ide yang tentunya tidak semua berasal dari Global Forum. Refreshing ide diperlukan untuk menata tanggung jawab terhadap kelautan yang jauh lebih besar. Dalam tulisan ini, ada 5 agenda yang dapat ditawarkan.
Pertama: WOC 2009 harus ‘mencerdaskan’ masyarakat internasional tentang pentingnya semua negara menjadi anggota dan meratifikasi UNCLOS 1982.
Kedua: Pelaksanaan WOC 2009 seyogyanya menitikberatkan pengembangan kelautan dengan memerhatikan karakteristik setiap negara. Aturan-aturan lokal/tradisional harusnya tidak dilanggar untuk kepentingan konservasi semata. WOC 2009 harus menyerukan perlindungan terhadap “traditional fishing area” dan mengambil tindakan hukum terhadap pelaku illegal fishing.
Ketiga: Untuk Action Plan Coral Triangle (Indonesia, Filipina, Malaysia, Australia, Timor Leste, Selandia Baru dan Papua Nugini) hendaknya negara-negara maju ikut menandatanganinya. Hal ini merupakan kepedulian bersama (common sense) yang dapat menyelamatkan Segitiga Terumbu Karang. Segitiga terumbu karang merupakan wilayah sumber produksi dan perkembangbiakan yang menentukan populasi ikan di dunia.
Keempat: Jika dalam WOC 2009 ada seruan (Deklarasi Manado) tentang kelautan dan global warming, maka negara-negara maju harus wajib ikut pelestarian ekosistem pantai negara-negara berkembang. Hal ini sesuai dengan asas proporsionalitas tanggung jawab menyelamatkan bumi.
Kelima: kembalikan semangat Deklarasi Djuanda 1957, Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Deklarasi Djuanda merupakan deklarasi pro-laut dan kedaulatan maritim. Jika saat ini mulai dari sistem pelabuhan, pelayaran, angkutan dan transportasi laut, penangkapan ikan, riset, kapal-kapal komersil telah dikuasai saham asing, maka sudah selayaknya Pemerintah Indonesia mengubah kebijakan nasional dengan mengembalikan kedaulatan atas semua potensi sumber daya kelautan.
Dengan demikian, WOC+CT 2009 diharapkan menghasilkan kebijakan pro-kelautan, mengembalikan fungsi, ekosistem dan eksistensi laut bagi kepentingan bersama tanpa mengabaikan kedaulatan nasional. Karena hanya di laut, masa depan bumi dan umat manusia ditentukan.
Setelah Duta Besar L.N. Palar, Theo Sambuaga, Jeffrey Massie (DPR-RI), kini kawanua lainnya, S.H. Sarundajang, Gubernur Sulut (ikut serta Noldy Tuerah dan Tony Wagey) hadir di PBB. Kapasitas Sarundajang sebagai delegasi RI (delri) pada The eighteenth Meeting of States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Ada tiga isu utama selama berkunjung ke PBB. Kewajiban sebagai (state parties) dalam UNCLOS, Promosi World Ocean Conference (WOC) dan Action Plan Coral Triangel. WOC dan CTI merupakan agenda internasional bulan Mei 2009 di Manado.
Kewajiban State Parties
Kehadiran delri di PBB, memenuhi kewajiban negara anggota yang meratifikasi hukum laut internasional (UNCLOS). Pertemuan di PBB adalah jadwal berkala tiga tahunan yang juga memilih hakim International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS).
Pada pemilihan Jumat 13 Juni 2008, terpilih tujuh hakim yakni Rudiger Wolfrum (Jerman), Akl (Lebanon), Marotta Rangel (Brazil), Chandrasekhara Rao (India), Jesus (Cape Verde), Bouguetaia (Algeria) dan Golitsyn (Russia). Dari presentasi tersebut, Indonesia belum pernah meloloskan nominator hakim di ITLOS. Padahal syaratnya mudah, setiap negara mengajukan dua orang calon yang memiliki reputasi terbaik, jujur, adil dan memiliki integritas serta kompeten di bidang hukum laut. Hal ini penting mengingat geografis Indonesia diakui dalam UNCLOS sebagai Negara Kepulauan (the Archipelagic State).
Selanjutnya kewajiban negara anggota diantaranya, mendepositkan ke PBB jumlah pulau, luas, dan besaran daratan maupun perairan baik territorial zone (12 mil), contigous zone (24 mil) maupun economic exlusive zone (ZEE 200 mil). Selain pendaftaran, pemberian nama atas pulau, Indonesia wajib mengumumkan navigasi / pelayaran internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Hal ini karena Indonesia memiliki pelayaran internasional yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Lombok, dan Ombai/Wetar.
Ingatkah kita kasus Bawean antara Hornet F-18 Navy-US berhadapan dengan F-16 AURI? Peristiwa awal 2001 ini terjadi saat manuver Hornet F-18 US melintasi Pulau Bawean dan tertangkap radar Bandara Djuanda Surabaya yang kemudian mengirim signal ke TNI-AU. Untung tidak sampai terjadi air-force clash. Argumen Amerika, bahwa konvoi Kapal Induk yang dijaga pesawat tempur sah melintasi perairan internasional. Sedangkan Indonesia menyatakan Hornet F-18 keluar jalur ALKI sebagaimana yang ditetapkan.
Tetapi, AS adalah negara yang tidak meratifikasi UNCLOS dan berpegang pada hukum udara menurut Konvensi Paris maupun Chicago 1918. Padahal, Indonesia menganut UNCLOS 1982, dimana berlaku juga lintasan wilayah udara di atas perairan nasional (ALKI). Hingga kini, belum ada yurisprudensi yang menetapkan hukum atas contoh permasalahan di atas.
Bercermin kasus di atas, Indonesia harus tegas menyatakan diri sebagai state parties dan melakukan lobby terhadap negara-negara besar yang tidak meratifikasi UNCLOS 1982. Sebagai catatan sejak Deklarasi Djuanda 1957, ikhwal konsepsi Negara Kepulauan (Bab IV UNCLOS ‘82), ada beberapa negara melakukan protes diplomatik yang tidak setuju terhadap Indonesia. Negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Perancis dan Selandia Baru.
Oleh karena itu, meski memiliki durasi singkat di PBB, selayaknya delegasi Indonesia melakukan lobby intensif untuk mempertegas konsepsi Negara Kepulauan. Pada intinya, konsepsi negara kepulauan berbicara pentingnya daratan dan lautan dipandang sebagai kesatuan wilayah utuh yang tidak terpisahkan.
Global Forum, WOC-CTI
Pelaksanaan WOC 2009 terkesan ingin mengikuti kesuksesan WOC 2008 di Hanoi, Vietnam. Global Forum melalui Dr. Biliana Cicin-Sain ketika di Hanoi, berjanji akan ikut merumuskan Deklarasi Manado. Akan tetapi, kepedulian tentang laut bukanlah milik kepentingan satu negara maupun lembaga internasional. Laut merupakan kepentingan bersama dan digunakan untuk kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, jika WOC 2009 mendatang draft yang dihasilkan merupakan aplikasi program Global Forum semata, maka usaha Gubernur Sarundajang sia-sia belaka. WOC 2009 hanya menjadi kepentingan negara-negara pendukung skema penyelamatan bumi dan lautan versi Global Forum.
Sepintas memang agenda Global Forum pro-kelautan. Tujuan utamanya adalah pengelolaan lautan, pantai dan pulau-pulau kecil di negara berkembang. Bahkan sebuah proposal kerja dan workshop Global Forum, telah disusun untuk memenuhi renstra 2006-2016. Menyimak perkembangan, apakah agenda Global Forum telah memenuhi kepentingan seluruh negara di dunia? Atau agenda 2016 hanya bagian kampanye kepedulian internasional tanpa memerhatikan karakteristik perairan tiap-tiap negara?
Sebagai contoh, Strategic Planning to Advance the Global Oceans Agenda 2006-2016, terdapat isu pengelolaan dan integrasi pantai dalam kerangka perubahan iklim (www.globaloceans.org). Selanjutnya, Global Forum mengangkat topik perubahan iklim, laut dan keamanan, tata pemerintahan serta ekosistem laut dalam penggunaan di batas yurisdiksi nasional. Argumen dan topik-topik semacam ini, sangat rentan tindakan okupasi wilayah negara dengan isu-isu penyatuan maupun integrasi pantai.
Memang, pengelolaan sumber daya laut membutuhkan kerja sama dan dukungan semua pihak. Permasalahannya jika pengelolaan bersama suatu kawasan ada beberapa negara tidak tunduk dalam UNCLOS 1982, apakah dapat dipertanggung jawabkan pelaksanaannya di lapangan?
Sebut saja pembuangan Limbah B3 lintas negara. Posisi Indonesia menolak perairannya dijadikan lintasan limbah berbahaya. Apakah ada punishment yang dijalani jika perairan sekitar Singapura dan Malaysia mengijinkan hal tersebut. Hukum mana yang harus ditaati? Sebaliknya, pengelolaan bersama-sama antarnegara apakah sudah memikirkan sumber budaya dan kearifan lokal? Belum lama ini, Australia membakar kapal-kapal penangkap ikan Indonesia dengan alasan melanggar wilayah konservasi laut Australia. Selanjutnya, dapatkah Indonesia menuntut kerugian yang diderita nelayan tradisional Indonesia?
Oleh karena itu, konsepsi Global Forum sesungguhnya hanya menyentuh kepentingan sebagian negara sesuai kepentingan nasionalnya saja. Keinginan pengelolaan bersama dan menjadikan kekayaan laut untuk kesejahteraan bersama masih jauh dari harapan. Kita cenderung melihat program berbasiskan luar negeri lebih baik dari program nasional kita. Atau cenderung mengedepankan agenda luar negeri masuk ke jantung kedaulatan kita. Padahal, banyak permasalahan nasional belum dapat diatasi. Apakah isu-isu WOC sudah menyentuh kepentingan di perbatasan? Apakah WOC mengangkat Indonesia sebagai Negara Kepulauan? Atau apakah dengan adanya WOC 2009, nelayan di perbatasan dan pulau-pulau kecil terlindungi dan produksinya meningkat?
Semangat Deklarasi Djuanda
Kadangkala demi memenuhi agenda global, kita mengorbankan kepentingan kelautan nasional. Untuk itu, WOC 2009 perlu ada penyegaran ide yang tentunya tidak semua berasal dari Global Forum. Refreshing ide diperlukan untuk menata tanggung jawab terhadap kelautan yang jauh lebih besar. Dalam tulisan ini, ada 5 agenda yang dapat ditawarkan.
Pertama: WOC 2009 harus ‘mencerdaskan’ masyarakat internasional tentang pentingnya semua negara menjadi anggota dan meratifikasi UNCLOS 1982.
Kedua: Pelaksanaan WOC 2009 seyogyanya menitikberatkan pengembangan kelautan dengan memerhatikan karakteristik setiap negara. Aturan-aturan lokal/tradisional harusnya tidak dilanggar untuk kepentingan konservasi semata. WOC 2009 harus menyerukan perlindungan terhadap “traditional fishing area” dan mengambil tindakan hukum terhadap pelaku illegal fishing.
Ketiga: Untuk Action Plan Coral Triangle (Indonesia, Filipina, Malaysia, Australia, Timor Leste, Selandia Baru dan Papua Nugini) hendaknya negara-negara maju ikut menandatanganinya. Hal ini merupakan kepedulian bersama (common sense) yang dapat menyelamatkan Segitiga Terumbu Karang. Segitiga terumbu karang merupakan wilayah sumber produksi dan perkembangbiakan yang menentukan populasi ikan di dunia.
Keempat: Jika dalam WOC 2009 ada seruan (Deklarasi Manado) tentang kelautan dan global warming, maka negara-negara maju harus wajib ikut pelestarian ekosistem pantai negara-negara berkembang. Hal ini sesuai dengan asas proporsionalitas tanggung jawab menyelamatkan bumi.
Kelima: kembalikan semangat Deklarasi Djuanda 1957, Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Deklarasi Djuanda merupakan deklarasi pro-laut dan kedaulatan maritim. Jika saat ini mulai dari sistem pelabuhan, pelayaran, angkutan dan transportasi laut, penangkapan ikan, riset, kapal-kapal komersil telah dikuasai saham asing, maka sudah selayaknya Pemerintah Indonesia mengubah kebijakan nasional dengan mengembalikan kedaulatan atas semua potensi sumber daya kelautan.
Dengan demikian, WOC+CT 2009 diharapkan menghasilkan kebijakan pro-kelautan, mengembalikan fungsi, ekosistem dan eksistensi laut bagi kepentingan bersama tanpa mengabaikan kedaulatan nasional. Karena hanya di laut, masa depan bumi dan umat manusia ditentukan.
Jumat, 04 Juli 2008
Sarundajang, Beyond WOC
Oleh : Michael F Umbas
WOC, satu dari sekian percikan gagasan yang menggenangi benak sosok Gubernur Sulut Sarundajang. Ia mengelaborasi gagasan brillian mengajak para pemimpin dunia menyelamatkan bumi dengan sebuah komitmen. Di Manado, sebuah kota kecil pada titik bumi, komitmen itu akan ditanam. Ia yakin, sebuah ide besar tentang penyelamatan bumi dan peradaban bisa lahir di mana saja, termasuk dari sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk global.
World Ocean Conference, sebuah konferensi dunia yang akan membahas tuntas masalah kelautan, implikasi pemanasan global, penyelamatan lingkungan dan ekosistem sungguh sebuah perhelatan sosial yang menarik. Iven ini, satu dari sebagian serial pertemuan besar yang menentukan masa depan peradaban bumi. Dampak pemanasan global, telah menjadi isu sentral dunia yang tak putus-putus menebar kekhawatiran terhadap eksistensi bumi. Atas dasar common awarenes itu Sarundajang menawarkan solusi, memberi diri pada universalitas.
Publik dan pemimpin dunia tengah berdiri di lembah kecemasan memandang fenomena perubahan iklim dunia, bumi yang sakit akibat suhu global yang memanas. Fakta bahwa kutub es di antartika mulai mencair dan makin memperbesar volume air laut dunia melahirkan kekuatiran akan terjadi evolusi struktur permukaan bumi. Ketakutan ini sungguh berdasar. Lihat saja aneka bencana yang melanda di sejumlah belahan dunia. Termasuk yang mencengangkan, Tsunami yang melululantahkan Aceh dan negara-negara di jazirah laut hindia.
Fenomena yang terus menerus terjadi ini memunculkan pandangan realistis bahwa memang harus ada langkah penyelamatan bumi. Para aktivis lingkungan dunia pada akhirnya menemukan pembenaran atas dalil mereka tentang dampak pembangunan dan industri yang tidak taat lingkungan, pada akhirnya mengakibatkan kerusakan bumi.
Dari balik ruang kerja di Jl 17 Agustus, Manado, sosok bernama Sinyo Harry Sarundajang menambatkan kekuatiran yang sama. Ia menegasikan sebuah pemikiran; urgensi pertemuan global tentang masa depan laut dan implikasi terhadap pemanasan global. Ya, ¾ bumi adalah laut, dan lautlah yang harus diselamatkan jika kita ingin menyelamatkan bumi dan mahluk hidup yang ada di dalamnya.
Sebersit ide yang membuncah, lalu didiskusikan secara serius hingga terbitlah keberanian untuk melontarkan ide ke pemerintah pusat. Tak berlebihan jika memang menguatnya gagasan Sarundajang mewujudkan pertemuan ini karena pengaruh teori visioner Sam Ratulangi tentang Pasifik. Posisi Sulut yang strategis menghadap pasifik yang kini menjadi penentu arus ekonomi dunia, sebagai Provinsi kepulauan, dimana dari 92 pulau terluar di Indonesia dua ada di Sulut, yakni P.Miangas dan P.Marore yang berbatasan dengan Filipina. Sulut juga dikenal memiliki gunung bawah laut yakni Gunung Mahangetang dan Gunung Sub Marine. Yang paling menarik yakni, posisi Sulut diapit oleh Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan III.
Inilah saatnya Sulut mengambil peran karena geostrategi Pasifik yang sulit dielakkan. Semangat itu memantik semangat Sarundajang untuk ‘mementaskan’ Sulut di mata dunia, melalui iven lokal untuk menjawab kepentingan masyarakat global.
Inisiatif lokal, yang kemudian ‘terbang’ ke Istana merdeka lalu disambut hangat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ide ini kemudian dikemas menjadi label ‘produk’ Indonesia untuk selanjutnya ditawarkan kepada stakeholders international.
Kegigihan Sarundajang memperjuangkan ide WOC sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan dan dampak global warming, tak pelak membuat pemerintah pusat memberi dukungan penuh. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menyetujui dibentuknya panitia nasional WOC dengan menerbitkan SK Presiden No 23 Tahun 2007, tentang panitia nasional penyelenggaraan Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference) Tahun 2009Sesudah mendapat ‘endorsement’ RI-1 melalui sebuah Keppres, kini ‘tendangan bola’ berbalik ke Sulut.
Mempersiapkan segala sesuatu menyangkut penyelenggaraan kegiatan dalam waktu terbatas. Dengan sikap optimis, Gubernur Sarundajang menepis sederet gundah sebagian kalangan yang menilai sulit menggelar iven dunia dengan segala keterbatasan infrastruktur.
Semangat untuk mewujudkan ide ini dibuktikan dengan sikap all out menggerakan segala potensi lokal, agar gagasan ini bisa menjadi kenyataan. Betapa tidak, inilah pembuktian kepada khalayak nasional bahwa Sulut bisa menjadi the next Bali dalam hal penyelenggaraan hajatan internasional.
Waktu persiapan yang terbilang singkat , tak menyurutkan langkah pemerintah daerah ditunjang pemerintah pusat untuk bahu membahu menyiapkan segala fasilitas penunjang konferensi yang memiliki tema “Climate Change Impacts To Oceans and The Role of Ocean To Climate Change”
WOC yang akan digelar pada tanggal 11-15 Mei 2009 ini sungguh menarik, karena rencananya dihadiri oleh negara-negara yang memiliki wilayah laut dan pantai, dan ilmuwan, LSM, jurnalis, serta sektor swastaTujuan WOC untuk mencapaikesepakatan internasional dalam pemanfaatan sumberdaya laut bagi kesejahteraan umat manusia.
Lalu, topik bahasan utama yakni dampak perubahan iklim global terhadap Laut (Impacts Of Global Climate Change on Ocean), Keanekaragaman Hayati Kelautan (Marine Mega Biodiversity), Industri dan jasa Kelautan (Maritime Industries & Services), Penanganan Bencana Kelautan (Marine Hazard Mitigations), Laut sebagai masa depan (Ocean As The Next Frontier)
WOC 2009, memang merupakan iven strategis, karena dirancang dengan beberapa skenario, mencakup 5 Tema dalam 5 Sesi Paralel. Tentu, yang paling fenomenal, WOC bakal dihadiri sekitar 2500 hingga 3000 peserta dari 150 Negara. Para peserta ini terdiri dari Kepala Negara, Pengambil kebijakan, Ilmuwan, Sektor Swasta, LSM, Jurnalis, Biro Perjalanan, dan Pemangku Kepentingan lainnya· Untuk iven sekelas ini, pembukaan akan dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Kemudian, iven utama dengan 5 Sesi Pleno, 5 Pembicara Tokoh Dunia di Bidang Kelautan.
Yang paling menarik, yakni para keynote speakers yang melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh dunia, seperti Presiden Republik Indonesia, Sekretaris Jenderal PBB, Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, Putera Mahkota Kerajaan Belanda, Pangeran Alexander, Perdana Menteri China, Perdana Menteri Australia, Mantan Presiden RI, BJ. Habibie, Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, Emil Salim.
Ada sejumlah hal yang diharapkan sebagai wujud implikasi dari WOC, antara lain munculnya Deklarasi Manado, sebagai the new paradigm sekaligus starting point bagi percepatan pembangunan kelautan di tingkat nasional, regional dan internasional. Indonesia sebagai negara kepulauan dapat menjadi centre point pengelolaan kelautan dunia. Dapat mencarikan jalan keluar bagi penyelesaian berbagai permasalahan kelautan dunia saat ini. Berdampak positif bagi sinergitas kemajuan pembangunan di berbagai bidang untuk Sulawesi Utara khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Wajar jadinya jika Gubernur Sarundajang selalu berujar : kita berada pada the point of no return. Ya, Sesuatu yang spektakuler sedang berada di depan mata. Sederet aral melintang harus dilewati, aneka isu miring harus dijawab dengan kesungguhan bahwasanya ide ini benar-benar murni untuk kemanusian, peradaban, dan kesejahteraan. ***
WOC, satu dari sekian percikan gagasan yang menggenangi benak sosok Gubernur Sulut Sarundajang. Ia mengelaborasi gagasan brillian mengajak para pemimpin dunia menyelamatkan bumi dengan sebuah komitmen. Di Manado, sebuah kota kecil pada titik bumi, komitmen itu akan ditanam. Ia yakin, sebuah ide besar tentang penyelamatan bumi dan peradaban bisa lahir di mana saja, termasuk dari sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk global.
World Ocean Conference, sebuah konferensi dunia yang akan membahas tuntas masalah kelautan, implikasi pemanasan global, penyelamatan lingkungan dan ekosistem sungguh sebuah perhelatan sosial yang menarik. Iven ini, satu dari sebagian serial pertemuan besar yang menentukan masa depan peradaban bumi. Dampak pemanasan global, telah menjadi isu sentral dunia yang tak putus-putus menebar kekhawatiran terhadap eksistensi bumi. Atas dasar common awarenes itu Sarundajang menawarkan solusi, memberi diri pada universalitas.
Publik dan pemimpin dunia tengah berdiri di lembah kecemasan memandang fenomena perubahan iklim dunia, bumi yang sakit akibat suhu global yang memanas. Fakta bahwa kutub es di antartika mulai mencair dan makin memperbesar volume air laut dunia melahirkan kekuatiran akan terjadi evolusi struktur permukaan bumi. Ketakutan ini sungguh berdasar. Lihat saja aneka bencana yang melanda di sejumlah belahan dunia. Termasuk yang mencengangkan, Tsunami yang melululantahkan Aceh dan negara-negara di jazirah laut hindia.
Fenomena yang terus menerus terjadi ini memunculkan pandangan realistis bahwa memang harus ada langkah penyelamatan bumi. Para aktivis lingkungan dunia pada akhirnya menemukan pembenaran atas dalil mereka tentang dampak pembangunan dan industri yang tidak taat lingkungan, pada akhirnya mengakibatkan kerusakan bumi.
Dari balik ruang kerja di Jl 17 Agustus, Manado, sosok bernama Sinyo Harry Sarundajang menambatkan kekuatiran yang sama. Ia menegasikan sebuah pemikiran; urgensi pertemuan global tentang masa depan laut dan implikasi terhadap pemanasan global. Ya, ¾ bumi adalah laut, dan lautlah yang harus diselamatkan jika kita ingin menyelamatkan bumi dan mahluk hidup yang ada di dalamnya.
Sebersit ide yang membuncah, lalu didiskusikan secara serius hingga terbitlah keberanian untuk melontarkan ide ke pemerintah pusat. Tak berlebihan jika memang menguatnya gagasan Sarundajang mewujudkan pertemuan ini karena pengaruh teori visioner Sam Ratulangi tentang Pasifik. Posisi Sulut yang strategis menghadap pasifik yang kini menjadi penentu arus ekonomi dunia, sebagai Provinsi kepulauan, dimana dari 92 pulau terluar di Indonesia dua ada di Sulut, yakni P.Miangas dan P.Marore yang berbatasan dengan Filipina. Sulut juga dikenal memiliki gunung bawah laut yakni Gunung Mahangetang dan Gunung Sub Marine. Yang paling menarik yakni, posisi Sulut diapit oleh Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan III.
Inilah saatnya Sulut mengambil peran karena geostrategi Pasifik yang sulit dielakkan. Semangat itu memantik semangat Sarundajang untuk ‘mementaskan’ Sulut di mata dunia, melalui iven lokal untuk menjawab kepentingan masyarakat global.
Inisiatif lokal, yang kemudian ‘terbang’ ke Istana merdeka lalu disambut hangat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ide ini kemudian dikemas menjadi label ‘produk’ Indonesia untuk selanjutnya ditawarkan kepada stakeholders international.
Kegigihan Sarundajang memperjuangkan ide WOC sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan dan dampak global warming, tak pelak membuat pemerintah pusat memberi dukungan penuh. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menyetujui dibentuknya panitia nasional WOC dengan menerbitkan SK Presiden No 23 Tahun 2007, tentang panitia nasional penyelenggaraan Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference) Tahun 2009Sesudah mendapat ‘endorsement’ RI-1 melalui sebuah Keppres, kini ‘tendangan bola’ berbalik ke Sulut.
Mempersiapkan segala sesuatu menyangkut penyelenggaraan kegiatan dalam waktu terbatas. Dengan sikap optimis, Gubernur Sarundajang menepis sederet gundah sebagian kalangan yang menilai sulit menggelar iven dunia dengan segala keterbatasan infrastruktur.
Semangat untuk mewujudkan ide ini dibuktikan dengan sikap all out menggerakan segala potensi lokal, agar gagasan ini bisa menjadi kenyataan. Betapa tidak, inilah pembuktian kepada khalayak nasional bahwa Sulut bisa menjadi the next Bali dalam hal penyelenggaraan hajatan internasional.
Waktu persiapan yang terbilang singkat , tak menyurutkan langkah pemerintah daerah ditunjang pemerintah pusat untuk bahu membahu menyiapkan segala fasilitas penunjang konferensi yang memiliki tema “Climate Change Impacts To Oceans and The Role of Ocean To Climate Change”
WOC yang akan digelar pada tanggal 11-15 Mei 2009 ini sungguh menarik, karena rencananya dihadiri oleh negara-negara yang memiliki wilayah laut dan pantai, dan ilmuwan, LSM, jurnalis, serta sektor swastaTujuan WOC untuk mencapaikesepakatan internasional dalam pemanfaatan sumberdaya laut bagi kesejahteraan umat manusia.
Lalu, topik bahasan utama yakni dampak perubahan iklim global terhadap Laut (Impacts Of Global Climate Change on Ocean), Keanekaragaman Hayati Kelautan (Marine Mega Biodiversity), Industri dan jasa Kelautan (Maritime Industries & Services), Penanganan Bencana Kelautan (Marine Hazard Mitigations), Laut sebagai masa depan (Ocean As The Next Frontier)
WOC 2009, memang merupakan iven strategis, karena dirancang dengan beberapa skenario, mencakup 5 Tema dalam 5 Sesi Paralel. Tentu, yang paling fenomenal, WOC bakal dihadiri sekitar 2500 hingga 3000 peserta dari 150 Negara. Para peserta ini terdiri dari Kepala Negara, Pengambil kebijakan, Ilmuwan, Sektor Swasta, LSM, Jurnalis, Biro Perjalanan, dan Pemangku Kepentingan lainnya· Untuk iven sekelas ini, pembukaan akan dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Kemudian, iven utama dengan 5 Sesi Pleno, 5 Pembicara Tokoh Dunia di Bidang Kelautan.
Yang paling menarik, yakni para keynote speakers yang melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh dunia, seperti Presiden Republik Indonesia, Sekretaris Jenderal PBB, Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, Putera Mahkota Kerajaan Belanda, Pangeran Alexander, Perdana Menteri China, Perdana Menteri Australia, Mantan Presiden RI, BJ. Habibie, Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, Emil Salim.
Ada sejumlah hal yang diharapkan sebagai wujud implikasi dari WOC, antara lain munculnya Deklarasi Manado, sebagai the new paradigm sekaligus starting point bagi percepatan pembangunan kelautan di tingkat nasional, regional dan internasional. Indonesia sebagai negara kepulauan dapat menjadi centre point pengelolaan kelautan dunia. Dapat mencarikan jalan keluar bagi penyelesaian berbagai permasalahan kelautan dunia saat ini. Berdampak positif bagi sinergitas kemajuan pembangunan di berbagai bidang untuk Sulawesi Utara khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Wajar jadinya jika Gubernur Sarundajang selalu berujar : kita berada pada the point of no return. Ya, Sesuatu yang spektakuler sedang berada di depan mata. Sederet aral melintang harus dilewati, aneka isu miring harus dijawab dengan kesungguhan bahwasanya ide ini benar-benar murni untuk kemanusian, peradaban, dan kesejahteraan. ***
UNESCO Supports Planned World Ocean Conference in Manado
Manado, North Sulawesi (ANTARA News) - The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) has pledged its support for the World Ocean Conference (WOC) to be held in Manado from May 11 to 15, 2009 as part of the efforts to deal with global warming problems. "Several member states of Unesco have expressed their readiness to participate in WOC in Manado, as their response to the threat of environmental and marine degradation," North Sulawesi Governor Sarundajang told the press here on Friday. Sarundajang had attended the Intergovernmental Oceanographic Commission Forum, the 41st Session of the Unesco Executive Council, in Paris, from June 24 to July 1, 2008. Some 50 countries attending the Unesco Forum expressed their support to the Indonesian government`s initiative to organize WOC because they considered that marine environmental preservation was crucial for the whole world, he said. The governor and Indonesian Ambassador to Unesco Prof. Dr Aman Wirakartakusumah had been asked to make presentations on the planned WOC at the UNESCO meeting. They also held a meeting with Unesco`s Deputy Director of the World heritage Center Kishore Rao to report on what North Sulawesi had done to prepare its Bunaken Marine Park as a world Marine mega Bio-Diversity site. (*)
Langganan:
Postingan (Atom)